Rabu, 20 Mei 2009

METODE PENDIDIKAN AKHLAK ANAK DI LINGKUNGAN KELUARGA MENURUT PANDANGAN IMAM AL-GHAZALI

METODE PENDIDIKAN AKHLAK ANAK
DI LINGKUNGAN KELUARGA
MENURUT PANDANGAN IMAM AL-GHAZALI
Oleh :
Dra. PIA KHOIROTUN NISA, S.Sos.I., S.Pd.I.


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan manusia pada masa kini diwarnai dengan kemajuan dalam berbagai bidang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih telah membawa manusia kepada taraf kehidupan yang relatif lebih maju. Hal ini merupakan keberhasilan manusia dalam rangka mengembangkan dirinya untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan ini. keberhasilan manusia dalam bidang ini patut kita banggakan, karena sedikit banyak hasil-hasilnya dapat kita rasakan bersama.
Di tengah-tengah kehidupan manusia di abad modern ini, masih ada satu hal yang sangat memprihatinkan bagi kita yaitu terjadinya dekadensi moral (akhlak) baik di kalangan anak muda maupun orang dewasa. Kehidupan mereka seakan-akan tidak lagi dilandasi oleh nilai-nilai akhlak yang luhur, mereka hidup dengan menuruti hawa nafsunya. Sebagai contoh, korupsi, pergaulan bebas dan Suasana tidak menyenangkan dalam keluarga dengan cepat akan diserap oleh anak, seperti kesibukan orang tua dalam mencari nafkah.”Kesibukan orang-orang tua dalam mencari nafkah untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya dan ketentuan mereka dalam meningkatkan kekayaan materinya pada akhir-akhir ini melengahkan mereka dari kesadaran akan pentingnya nilai-nilai bagi generasi keturunannya.”
Sebagaimana dirumuskan oleh Mudlor Achmad dalam buku karangannya Etika Dalam Islam seperti berikut ini:
“Tindakan-tindakan negatif yang kita saksikan di kalangan mereka adalah sebenarnya suatu pelarian dari rasa tidak puas dari alam sekelilingnya yang acuh tak acuh akan adanya mereka, dan sekaligus berkehendak menarik perhatian masyarakat bahwa mereka juga bermakna di dalamnya.”
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saja ternyata tidak menjamin membawa manusia kepada kehidupan yang berakhlak mulia, bahkan malah bisa membawa kepada kerusakan akhlak manusia.
Keadaan seperti di atas perlu sekali mendapat perhatian dari sebagian manusia guna meluruskan dan membina mereka dari kehidupan yang mnyimpang, kepada kehidupan yang dilandasi dengan nilai-nilai akhlak yang luhur.
Kemerosotan akhlak pada suatu generasi akan sangat mempengaruhi dan memberi dampak negatif kepada generasi berikutnya.Untuk mencegah terjadinya hal ini, perlu diadakan usaha-usaha preventif yang dilaksanakan oleh segenap pendidik, khususnya para orang tua.
Hilangnya nilai-nilai akhlak dalam kehidupan manusia, bisa menurunkan martabat manusia seperti binatang bahkan lebih rendah dan hina dari binatang. Oleh karena itu untuk menjaga dan membina kemuliaan manusia ini, tugas Rasulullah Saw. di utus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia, sebagaimana beliau bersabda:
عن ابي هر يرة ر ضي ا لله عنه قال : قال ر سو ل الله صل لله عليه و سلم : انما بعثت لا تمم مكا رم الاخلا ق (روه الحا كم)
Artinya: “Dari Abu Hurairah r. a., berkata: Rasulullah Saw bersabda: Bahwasanya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”

Hadits di atas memberikan gambaran bahwa Nabi Muhammad Saw dalam kehidupannya tidak terlepas dari akhlak yang mulia dan budi pekerti yang luhur.
Nabi Muhammad berakhlak mulia bukan saja hanya kepada para sahabatnya akan tetapi kepada musuhnya pun berakhlak mulia. Karenanya tidak berlebihan kalau Allah SWT sebagai Maha Pencipta memuji akhlak Nabi Muhammad Saw. seperti yang ditegaskan dalam Firman Allah Swt Q.S. Al-Qalam: 4 sebagai berikut:
وإنك لعلى خلق عظيم
Artinya: “Sesungguhnya kamu Muhammad benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Q.S. Al-Qalam: 4)
Pendidikan Akhlak yang seimbang dan menekankan harmonisasi kehidupan dalam rangka terwujudnya kelanggengan lahir dan batin, seperti penilaian Fathiyah Hasan Sulaiman seorang guru besar dari Kuliyatul Banat di Kairo-Mesir dalam satu karyanya yang berjudul Madzahib Fi al-Tarbiyah Mabahitsu Fi al-Madzhabi al-Tarbawiyi’Inda al-Ghazali, bahwa pandangan Imam Al-Ghazali terletak pada dua kecenderungan, antara lain sebagai berikut:
1. Kecenderungan agamis bercorak sufi. Dalam hal ini beliau menempatkan Pendidikan akhlak di atas segala ilmu lainnya dan menempatkannya sebagai alat untuk mensucikan jiwa serta membersihkannya dari karat nama kehidupan duniawi.
2. Kecenderungan faktual pragmatik. Hal itu nampak jelas dalam berbagai karya tulisnya, namun beliau menyebutkan berulang kali dalam kesempatan lain tentang nilai bagi suatu ilmu pendidikan akhlak itu sejauhmana kegunaannya bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana juga beliau menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan yang tidak dipergunakan oleh pemiliknya untuk memberi manfaat kepada umat manusia adalah ilmu yang negatif dan tidak bernilai.
Imam al-Ghazali, seorang yang memiliki kejeniusan luar biasa, yang tumbuh ditengah-tengah peradaban Islam yang subur. Imam al-Ghazali yang telah mempengaruhi pemikiran dan kehidupan umat Islam dengan pemikirannya yang cemerlang, dalam upaya mencapai puncak dari segala tujuan. Imam al-Ghazali dikenal sebagai orang yang terkendali oleh jiwa agamis dan sufi, yang keduanya telah membuat Imam al-Ghazali mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari kebahagiaan akhirat.
Banyak ide-ide cemerlang, terutama ide tentang bagaimana cara beliau mendidik akhlak dengan keutamaan dan keindahan ilmu yang dimilikinya, karena dengan ilmu dan akhlak manusia dapat mencurahkan tenaga dan pikiran yang mengandung kelezatan intelektual dan spiritual dalam upaya mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat juga merupakan salah satu cara yang dikemukakan Imam al-Ghazali adalah bahwa “apabila engkau mengadakan penalaran terhadap ilmu pengetahuan maka engkau akan melihat kelezatannya,” Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, penulis mencoba untuk melakukan penelitian mengenai Pendidikan akhlak menurut pandangan Imam al-Ghazali yang memiliki nilai pendidikan akhlak dan harmonisasi keberhasilan baik jasmani maupun rohani, materil maupun spirituil yang banyak menekankan pada pembentukan manusia yang qur’ani menurut Imam al-Ghazali.
Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengambil ide-ide cemerlang dari pemikiran al-Ghazali yang diharapkan masih banyak dilakukan pada masyarakat modern, baik sekarang maupun yang akan datang. Penulis menganggap bahwa masyarakat modern terus menghadapi berbagai tantangan yang amat kompleks dan berat, karena berhadapan langsung dengan perubahan sosial, kemajuan sains dan teknologi, era pasar bebas, era informasi dan era globalisasi yang semakin canggih dan tantangan lain yang terus berkembang dengan cepat dan pesat.
Kemajuan-kemajuan tersebut di atas, sebenarnya bukan merupakan penghalang bagi umat manusia di era modern, apabila pendidikan yang dilakukan secara seimbang untuk kepentingan duniawi dan ukhrawi semakin ditingkatkan kwalitasnya serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik dilingkungan keluarga maupun dilingkungan masyarakat.
Pendidikan Akhlak adalah salah satu hal yang menarik bagi peneliti, karena ia merupakan salah satu dasar yang menjelaskan persoalan meliputi segala aspek kehidupan, didalamnya terkandung ide tentang progresivitas, yaitu sebuah proses terus menerus menuju pada yang baik dan lebih baik dalam mewujudkan tujuan pendidikan akhlak. Dengan demikian, dalam pendidikannya terdapat ide dinamis, sesuai yang terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Atas dasar uraian serta penjelasan di atas peneliti ingin mengetahui bagaimana gagasan Imam al-Ghazali tentang pendidikan akhlak serta obyek pendidikan akhlak yang dituangkan ke dalam Skripsi, dengan judul “Metode Pendidikan Akhlak Anak Dilingkungan Keluarga Menurut Pandangan Imam al-Ghazali”
Penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan studi di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darul Ma’arif Jakarta dan dalam upaya sumbangsih pemikiran bagi dunia Pendidikan Islam serta masyarakat Indonesia yang dihasilkan melalui petunjuk dan tekhnis Pendidikan yang profesional, dalam kata lain adalah menghasilkan manusia yang berbudi pekerti luhur yang cerdas, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, wajahnya selalu ceria, dermawan, dan dapat menahan diri dari berbuat sesuatu yang merugikan orang lain.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Karena luasnya masalah pendidikan menurut Imam al-Ghazali maka, berdasarkan latar belakang di atas penulis membatasi masalah penelitian ini hanya tentang metode pendidikan akhlak anak di lingkungan keluarga menurut Imam al-Ghazali
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan skripsi ini adalah: Bagaimanakah gagasan dan metode pendidikan akhlak anak di lingkungan keluarga menurut Imam al-Ghazali.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gagasan pendidikan akahlak menurut Imam al-Ghazali
2. Untuk mengetahui metode pendidikan akhlak anak dilingkungan keluaraga menurut Imam al-Ghazali
Adapun manfaat penelitian yaitu:
1. Segi Akademis
Dapat memberikan kontribusi dan pengetahuan tentang pendidikan akhlak dan memberikan kejelasan konsep pendidikan akhlak terhadap anak di lingkungan keluarga menurut pandangan Imam al-Ghazali.
2. Segi Praktis
Untuk dapat menambah wawasan sekaligus menjadi masukan bagi para pengkaji dan peneliti sebagai pijakan para pengemban pendidikan yang siap memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pendidikan akhlak.

D. Metodologi Penelitian
Dalam melakukan penelitian peneliti menggunakan beberapa metode penelitian diantaranya:
1. Metode Penelitian
Penelitian kepustakaan (Library Research) adalah cara pengumpulan data dengan berusaha mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan, dipakai, digunakan, dan diperhitungkan dalam penelitian dengan cara membaca dan menganalisis bahan-bahan kepustakaan yang ada kaitannya dengan pembahasan ini.
2. Sumber Data
Sumber yang digunakan untuk penelitian ini adalah terbagi kedalam dua sumber data yaitu:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan sumber data yang bersifat khusus untuk diteliti dengan cara mengumpulkan karya-karya yang mengetengahkan gagasan pendidikan akhlak Imam al-Ghazali. Sumber yang digunakan adalah Kitab Ihya Ulumuddin Penerbit An Naasyir Syirkah Nurasia karangan Imam al-Ghazali.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber data yang bersifat umum untuk diteliti yang berfungsi sebagai penunjang dalam penelitian yang berhubungan dengan akhlak, sumber-sumber yang digunakan adalah terjemah kitab Ihya Ulumuddin oleh Drs. H. Moh Zuhri, Dipl. TAFL, dkk, penerbit CV. ASY SYIFA, al-Qur’an al-Karim dan al-Hadits, buku Akhlak Tasawuf karangan Dr. H. Abudinnata MA., dan juga dari jurnal, majalah dan lain-lain, yang berhubungan dengan pembahasan ini.
3. Metode Analisis Data
Seperti lazimnya karya ilmiah pada sebuah karya tulis setiap peneliti pasti menggunakan metode tertentu dalam penelitiannya, membuat langkah-langkah atau landasan berpijak dalam melakukan penelitian ini dengan teori-teori yang sudah ada dan sudah berjalan pada pengayaan konteks pendidikan Islam, lalu pada tahapan berikutnya dapat dijelaskan secara sistematis yang mudah untuk dicerna dan dipahami karena itu metode yang digunakan dari hasil penelitian nanti menggunakan metode-metode deskriptif analitik.
Metode deskriptif analitik adalah dengan mencoba memaparkan atau menggambarkan pendidikan akhlak menurut pandangan Imam al-Ghazali. Peneliti mengambil sumber data dari hasil penelitian kepustakaan (Library Research).
4. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini peneneliti menggunakan “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis dan Disertasi” yang disusun oleh tim penulis: Hamid Nasuhi, Ismatu Ropi, Oman Fathurahman, M. Syairozi Dimyati, Netti Hartati, Syopiansyah Jaya Putra. Buku pedoman ini diterbitkan oleh CEQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006.

E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari dari 5 bab dan dibagi kedalam beberapa sub bab:
Bab I. Memuat tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, kajian pustaka dan sistematika penulisan.
Bab II. Mengungkapkan tentang tinjauan dan teoritis, mengenai Pendidikan Agama Islam, pengertian pendidikan agama Islam dan dasar serta tujuannya. Akhlak terdiri dari pengertian akhlak, Fungsi akhlak dan Obyek pendidikan akhlak
Bab III. Mengetengahkan tentang biografi Imam al-Ghazali, dalam bab ini mengungkapkan tentang riwayat hidup Imam al-Ghazali, aktivitas-aktivitas Imam al-Ghazali, dan karya-karya Imam al-Ghazali.
Bab IV. Mengemukakan hasil penelitian mengenai Pendidikan akhlak anak di lingkungan keluarga menurut Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin yang terdiri dari gagasan Imam al-Ghazali tentang pendidikan akhlak anak, Metode pendidikan akhlak terhadap anak di lingkungan keluarga menurut Imam al-Ghazali.
Bab V. Merupakan bab penutup, yang mengemukakan kesimpulan dari seluruh pembahasan serta saran-saran untuk mencapai hasil yang lebih baik.


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pengertian pendidikan berbeda dengan pengajaran, namun sering kali diartikan sama.
Secara etimologi,”kata pendidikan yang umumnya kita gunakan sekarang, dalam bahasa Arabnya adalah “tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”. Kata “pengajaran” dalam bahasa Arabnya adalah ta’lim dengan kata kerja ‘allama.
Jadi jelaslah bahwa ta’lim hanya berarti pengajaran, jadi lebih sempit dari pendidikan. Dengan kata lain ta’lim hanyalah sebagian dari pendidikan. Sedangkan kata tarbiyah, yang lebih luas digunakan sekarang di negara-negara bangsa Arab, terlalu luas. Sebab kata tarbiyah juga digunakan untuk binatang dan tumbuh-tumbuhan dengan pengertian memelihara atau membela, menternak dan lain-lain lagi. Sedangkan pendidikan yang diambil dari education itu hanya untuk manusia saja, dan ta’dib lebih tepat untuk pengertian pendidikan, karena tidak terlalu sempit hanya sekedar mengajar saja dan tidak terlalu luas yang meliputi makhluk-makhluk selain manusia juga mengandung pengertian nilai-nilai yang ditanamkan.
Melihat pengertian secara etimologi di atas maka terlihatlah perbedaan pengertian pendidikan dengan pengajaran. Pendidikan bukan pengajaran karena materi pelajaran yang diajarkan tidak semata-mata untuk diketahui saja tetapi juga untuk diamalkan.
Prof. H. M. Arifin, M. Ed. mengatakan bahwa pada hakekatnya pendidikan adalah “usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan anak didik dalam bentuk pendidikan formil dan nonformil.”
Ahmad D. Marimba merumuskan kembali bahwa pendidikan adalah
“Bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si terdidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian utama.”
Abdullah Fayad menyatakan seperti yang dikutip oleh Abdul Ghani Abud, bahwa pendidikan Islam mengarah kepada dua tujuan. Pertama, persiapan untuk hidup di akhirat. Kedua, membentuk perorangan dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk menunjang kesuksesan hidup di dunia.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi merumuskan tujuan pendidikan Islam ke dalam lima pokok, yaitu: 1) Pembentukan akhlak mulia, 2) Persiapan untuk kehidupan dunia akhirat, 3) Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi pemanfaatannya, 4) Menumbuhkan ruh ilmiah (semangat menuntut ilmu)bagi para pelajar dan memenuhi keinginan untuk mengetahui serta memilki kesanggupan untuk mengkji ilmu, 5) mempersiapkan para pelajar untuk suatu profesi tertentu sehingga ia mudah mencari rezeki.
Dengan demikian pengajaran merupakan bagian dari pendidikan dan merupakan sarana untuk mencapai terlaksananya pendidikan. Pendidikan lebih mementingkan segi pembentukan pribadi, sedangkan pengajaran lebih mengutamakan segi inteleknya atau otaknya. dengan kata lain pendidikan pada dasarnya memberikan kesempatan kepada manusia membentuk pribadinya sesuai dengan fitrah yang ada padanya. Melalui kemampuan yang ada pada dirinya maka pendidikan berusaha mengarahkan fitrah manusia supaya dapat berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Adapun pengertian pendidikan agama terungkap dari beberapa pendapat di bawah ini, antara lain sebagaimana dikatakan oleh Ahmad D. Marimba, bahwa:
“Pendidikan agama Islam merupakan bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Kepribadian utama yang dimaksud adalah kepribadian muslim.”
Pernyataan yang sama diungkapkan oleh Drs. H. Zuhairini, dkk. bahwa pendidikan agama Islam adalah:
“Usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam.”
Dengan adanya berbagai pendapat tentang pengertian pendidikan agama Islam di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pendidikan agama Islam merupakan suatu usaha dalam mengembangkan kepribadian anak didik agar selalu berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama Islam sebagai pedoman bagi kehidupannya sehingga mereka selamat dunia dan akhirat.
2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Agama Islam
Pendidikan mempunyai dasar, tujuan dan cara tertentu untuk mencapai suatu yang diharapkan dalam pelaksanaan pendidikan.
Begitu pula halnya dengan pendidikan agama Islam, agar pelaksanaannya terarah pada apa yang diharapkan, maka perlu adanya dasar dan tujuan.
a. Dasar Pendidikan Agama Islam
Di dalam menetapkan dasar bagi suatu aktifitas, manusia akan selalu berpedoman kepada pandangan hidup dan hukum-hukum dasar yang dianut di dalam kehidupannya.
Karena itu apabila pandangan hidup dan hukum-hukum dasar yang dianut manusia berbeda, maka berbeda pula dasar dan tujuan aktifitasnya. “Dasar adalah pangkal tolak dari suatu aktifitas.”

Dasar pendidikan agama Islam terdiri dari dasar ideal dan sosial psikologis.
1) Dasar Ideal Pendidikan Islam
Dasar ideal pendidikan agama Islam adalah Al-Qur’an dan hadis. Firman Allah SWT. QS: An- Nisa: 13
تلك حدود الله ومن يطع الله ورسوله يدخله جنات تجر ي من تحتها الأنهار خالدين فيها وذلك الفوز العظيم

Artinya: “…Barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya ia masukkan dia ke dalam surga yang mengalir padanya sungai-sungai, itulah kebahagiaan yang besar.”







Hadis Nabi Muhammad SAW:

عن ابي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله ص.م. :تركت فيكم شيئيني لن تضلوا بعدهما كتاب الله و سنتي


Artinya:”Dari Abu Hurairah R.A. berkata bahwa: Rasulullah bersabda: Aku tinggalkan untuk kamu dua hal yang kamu tidak akan sesat sesudahnya, ialah kitab Allah dan Sunnah-Ku.”
Dari keterangan ayat dan hadits diatas jelaslah bahwa yang menjadi dasar ideal bagi seluruh aktivitas manusia dalam pendidikannya adalah kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Saw, karena keduanya adalah kitab undang-undang yang paling sempurna dalam memuat petunjuk-petunjuk secara praktis untuk menjadi pedoman hidup umat Islam, khususnya dalam pendidikan agama Islam.
2) Dasar Sosial Psikologis
Dalam kehidupan di dunia ini manusia sejak zaman primitif sampai ke zaman modern selalu membutuhkan pegangan hidup, yaitu agama. Mereka merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Dzat yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat mereka memohon pertolongan. Mereka akan merasa tenang dan tenteram hatinya apabila dapat mendektkan diri dan mengabdi kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ar-ra’du ayat 28, yaitu:
الذين آمنوا وتطمئن قلوبهم بذكر الله ألا بذكر الله تطمئن القلوب
Artinya:”… Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
Dengan demikian maka manusia akan selalu berusaha untuk mendekatkan diri itu berbeda-beda sesuai dengan agama yang dianutnya. Untuk itu maka bagi orang yang beragama Islam perlu diadakan pendidikan agama Islam agar mereka dapat mengarahkan fitrahnya ke jalan yang benar, karena segala penyimpangan yang menimpa fitrah manusia menurut pandangan Islam berpangkal pada kedua orang tua atau pendidik.
Dalam pandangan Islam bahwa manusia sejak lahir telah dibekali oleh Allah berupa fitrah beragama sebagaimana firman-Nya, QS: Ar-Ruum: 30
فأقم وجهك للدين حنيفا فطرة الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم ولكن أكثر الناس لا يعلمون
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.





Sabda Rasulullah SAW:

عن ابي هريرة ان رسول الله ص.م. عنه قال: كل إنسان تلده امه على الفطرة و ابوه بعد يهودانه و ينصرانه ويممجسانه فإن كان مسلمين فمسلم
Artinya: Abu Hurairah R.A. berkata bahwa sesungguhnya rasulullah SAW telah bersabda, setiap orang itu dilhirkan ibunya atas dasar fitrah beragama (Islam), maka tergantung ayah dan ibunya yang mendidik dia menjadi orang yang beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi, maka bila keduanya muslim jadilah anaknya muslim.
Dari ayat dan hadits diatas, jelaslah bahwa pada dasarnya anak manusia itu telah membawa fitrah beragama, dan selanjutnya tergantung pada pendidikannya. kalau mereka mendapatkan pendidikan agama dengan baik, maka mereka akan menjadi taat beragama. Akan tetapi sebaliknya bila benih-benih agama yang telah dibawa itu tidak dapat dipupuk dan dibina dengan baik maka anak menjadi orang yang tidak beragama ataupun jauh dari agama Islam.
Dengan demikian pendidikan agama Islam sangatlah penting untuk diberikan kepada manusia, agar mereka dapat mengarahkan fitrahnya ke arah yang benar, sehingga mereka akan dapat mengabdi dan beribadah sesuai dengan ajaran Islam. Tanpa adanya pendidikan agama dari generasi ke generasi berikutnya, maka manusia akan menjadi jauh dari agama yang benar.
b. Tujuan Pendidikan Agama Islam
“Tujuan adalah sasaran yang hendak dicapai oleh suatu aktivitas.”
Melihat arah ke mana akan melangkah, sehingga setiap aktivitas manusia pasti mempunyai tujuan tetentu. Akan sia-sialah aktivitas tanpa tujuan. Oleh sebab itu dalam dunia pendidikan tujuan mempunyai peran yang utama. Begitu pula halnya dengan pendidikan agama Islam, kegiatan akan berakhir bila tujuan yang diharapkan telah tercapai.
Tujuan pendidikan agama Islam itu sendiri menurut Prof. H.M. Arifin adalah: Perwujudan nilai-nilai Islami dalam pribadi manusia didik yang diikhtiarkan oleh pendidik muslim melalui proses yang terminal pada hasil produk yang berkepribadian Islam yang beriman, bertaqwa dan berilmu pengetahuan yang sanggup mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah yang taat.

Dengan demikian tujuan akhir pendidikan agama Islam adalah merealisasikan ubudiah kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individu maupun golongan masyarakat. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Adz-Dzaariyaat ayat 56:

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
Artinya:”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”

Inilah tujuan pendidikan agama Islam yang optimal, karena jika manusia telah bersikap menghambakan diri kepada Allah Swt, berarti telah berada dalam dimensi kehidupan yang mensejahterakan di dunia dan membahagiakan di akhirat. Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 201, yaitu:
ومنهم من يقول ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
Artinya:”Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, berilh kami kebahagiaan di duni dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari api neraka.”

Tujuan pendidikan agama Islam yang diberikan kepada Sekolah Menengah Umum (SMU) adalah untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan siswa tentang agama Islam sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.
B. Akhlak
1. Pengertian Akhlak
“Dilihat dari sudut etimologi, kata akhlak berasala dari bahasa Arab (أخلاق) yaitu bentuk jama’ taksir dari kata khuluq ( خلق ). Kata khuluq di dalam kamus Al-Munjid berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiyat.” Dalam kamus bahasa Indonesia kata “akhlak memiliki arti yang sama dengan budi pekerti , watak, dan tabi’at.”
“Sinonim dari budi pekerti adalah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa latin etos yang berarti kebiasaan dan moral berasal dari bahasa latin juga, mores berarti kebiasaan.”
Adapun pengertian akhlak secara terminologi menurut ibnu Maskawih dalam bukunya Tahdibul Akhlak waTathhirl al-‘Araq adalah:
الخلق حال للنفس داعية لها من غير فكر وروية
Artinya: “Akhlak itu adalah keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran.”




Sedangkan al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menyatakan:
فالخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر الأفعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر وروية
Artinya:”Khuluk, perangai adalah suatu yang tetap pada jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan yang dengan mudah, dengan tidak membutuhkan pada pikiran.”
Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa akhlak adalah suatu keadaan dalam jiwa manusia yang mendorong melakukan perbuatan baik atau buruk yang bersifat spontanitas atau tanpa dibuat-buat. Banyak orang-orang pandai mengemukakan mengenai akhlak diantaranya :
Syauqi Bei (Penyai Mesir):
إنما الأمام الأخلاق مابقيت وإن هموذهبت أخلاقهم ذهبوا
Artinya:”Hanya saja bangsa itu kekal selama berakhlak. Bila akhlaknya telah lenyap maka lenyap pulalah bangsa itu.’
Emerson (Filosof Amerika):
“Budi pekerti lebih tinggi dari kecerdasan otak/pengetahuan.”
Nepes (Penulis Romawi);
“Nasib-nasib orang itu ditentukan oleh akhlaknya.”
Dari banyak pendapat di atas namun sabda Nabilah yang kita jadikan acuan agar selalu berakhlak yang baik. Nabi Muhammad diutus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak. Hal tersebut telah dicontohkan dalam perilaku beliau sehari-hari yang selalu berakhlak mulia. Ketika seseorang bertanya kepada Aisyah r.a. mengenai akhlak rasul maka dengan singkat dijawab “Akhlak Rasul adalah Al-Qur’an.”
Dalam pendidikan Islam, pembinaan akhlak menjadi salah satu upaya pendidikan yang utama. Dengan demikian upaya pendidikan Islam adalah mendidik seseorang berakhlak mulia, berilmu pengetahuan, dan terampil mengamalkan ilmunya, guna kepentingan tugas hidupnya sebagai hamba Allah dan khalifah dimuka bumi.
2. Fungsi Akhlak
Sebagai makhluk sosial, manusia tak dapat menjalankan hidunya tanpa hidup bermasyarakat. Dengan hidup bermasyarakat manusia dapat saling membantu dalam memenuhi kebutuhannya, sehingga yang menjadi tujuan hidupnya yaitu kebahagiaan dapat dicapai. Akan tetapi manusia tak dapat hidup tenteram dan bahagia apabila kondisi masyarakatnya tidak baik.
Untuk menciptakan kondisi masyarakat yang baik tidak cukup hanya membuat dan memberlakukan peraturan dan undang-undang. Walaupun ketatnya pengawasan terhadap masyarakat agar memenuhi peraturan dan perundangan yang berlaku tapi masih saja pelanggaran yang dilakukan sebagian masyarakat, seperti pelanggaran lalu lintas, tindak kejahatan, korupsi dan sebagainya. Bentuk-bentuk kejahatan tersebut dapat dicegah apabila setiap orang melaksanakan akhlak yang baik.
3. Obyek Pembahasan Akhlak
Dari pengertian akhlak yang diuraikan di atas dapat dipahami bahwa obyek pembahasan akhlak adalah segala perbuatan dan tingkah laku manusia yang kemudian menjadi perbuatan baik dan buruk. Drs. Asmaran, MA. menjelaskan tentang obyek pembahasan ilmu akhlak sebagai berikut:
Bahwa ilmu akhlak ialah segala perbuatan manusia yang timbul dari orang yang melaksanakan dengan sadar dan sengaja dan ia mengetahui waktu melakukannya akan akibat yang ia perbuat. Demikian pula perbuatan yang tidak dengan kehendak tapi dapat diikhtiarkan penjagaannya pada waktu sadar.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa yang menjadi obyek pembahasan akhlak adalah:
a. Perbuatan yang dilakukan dengan sadar dan disengaja
Perbuatan yang dilakukan tanpa sadar dan tidak disengaja tidak termasuk obyek pembahasan akhlak dan tidak dapat diberi nilai baik atau buruk. Seperti memecingkan mata dengan tiba-tiba ketika melihat cahaya yang menyilaukan. Perbuatan itu tidak dapat dinilai baik atau buruk karena perbuatan itu dilakukan secara reflek dan tidak disengaja. Prof. Dr. Ahmad Amin mengatakan sebagai berikut:
Perbuatan manusia itu ada yang timbul tiada dengan kehendak, seperti bernafas, detak jantung dan memecingkan mata dengan tiba-tiba waktu berpindah dari gelap ke cahaya, maka ini bukan persoalan ethika dan tidak dapat memberi hukum baik atau buruk, dan bagi yang menjalankan tidak dapat kita sebut sebagai orang yang baik atau orang yang buruk dan tidak dapat dituntut.

b. Perbuatan yang dilakukan tanpa sadar tapi dapat diikhtirkan penjagaannyaa pada waktu sadar.
Ada satu perbuatan yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang kadangkala dinilai baik atau buruk. Seperti orang membakar rumah tapi ia dalam keadaan tidur dan seorang yang terkena penyakit luka sampai ia meninggalkan kewajibannya. Untuk menetapkan jenis perbuatan tersebut termasuk obyek lapangan atau tidak para ahli ilmu akhlak membagi kasus perbuatan tersebut ke dalam dua bagian:
1) Perbuatan yang dapat diikhtiarkan penjagaannya agar tidak terjadi.
2) Perbuatan yang diikhtiarkan penjagaannya agar tidak terjadi, tetapi tetap terjadi.
Yang termasuk dalam pembahasan obyek ilmu akhlak adalah perbuatan yang pertama. Misalnya apabila ia sudah tahu kalau dalam keadaan tidur sering melakukan perbuatan yang membahayakan, maka sebelum tidur segala yang mendatangkan bahaya harus dijauhi. Adapun perbuatan yang kedua tidak termasuk obyek lapangan akhlak. Sabda Nabi Muhammad Saw:
رفع القلم عن ثلاث عن النائم حتى استيقظ وعن المبتلى حتى يبرأ و عن الصيي حتى يكبر

Artinya:”Diangkat dalam kalam (tidak disiksa) dari tiga perkara, dari yang tidur hingga bangun, dari yang tidak sadar (pingsan) sehingga sadar, dan dari anak kecil sehingga dewasa.”
Dalam hadits tersebut jelaslah bahwa perbuatan terlupa atau tersalah tidak diberi hukumam dan tidak termasuk obyek lapangan akhlak.
c. Cara Mendidik Akhlak yang Baik
“Orang yang berakhlak baik ialah orang yang mempunyai sifat peramah, lapang dada, pandai bergaul, tidak mengikuti orang lain, sabar, dan lain-lain sifat utama.”
Sabda Nabi Muhammad SAW:
إن أحبكم إلي وأقربكم مني في الأخرة مجالس أحاسنكم أخلاقا (رواه أحمد)
Artinya: “Orang yang paling aku sukai di antara kamu dan pling dekat denganku di akhirat adalah siapa yang paling baik akhlaknya.”

Orang yang arif bijaksana mengatakan bahwa orang yang baik budi pekertinya hatinya senang, orang sekitarnya tenang. Orang yang buruk akhlaknya selalu menderita dan orang lain disiksa karenanya.
Untuk mendidik seseorang supaya berakhlak yang baik banyak caranya, diantaranya:
1) Mengisi akal dan pikiran dengan ilmu pengetahuan
2) Bergaul dengan orang-orang yang baik
3) Meninggalkan sifat pemalas
4) Merubah kebiasaan buruk
5) Membiasakan membaca sejarah orang yang pertama.
Akhlak mulia lahir dari sikap yang murni tanpa pamrih, spontan, hanya karena Allah semata-mata. Ada juga orang yang bersifat pemurah, dermawan, akan tetapi dia tidak memiliki apa-apa untuk diberikan pada orang lain sehingga perbuatannya tidak kelihatan. Dengan demikian perbuatan tidak selalu identik dengan sifat seseorang.
Akhlak seseorang dapat berubah atau menjadi lebih baik dan meningkat melalui latihan dan pendidikan.” Latihan dan pendidikan akhlak ini harus seirama antara sekolah dan keluarga sehingga anak didik terbiasa berakhlak yang baik.
Kebiasaan yang baik di sekolah dipupuk dirumah. Perbuatan baik pada waktu kecil akan menjadi kebiasaan di masa dewasa bahkan selama hidupnya. Nabi Muhammad SAW bersabda:



من شب على شيئ شاب عليه
Artinya:”Siapa yang membiasakan sesuatu di masa mudanya akan menjadi kebiasaan di masa tuanya.”

BAB III
BIOGRAFI IMAM AL-GHAZALI

A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali
Imam al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Muhammad Ibnu Ahmad, Abu Hamid al-Thus al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 1058 M (450 H) di Ghazaleh, sebuah desa kecil dekat Thus, wilayah khurasan di Timur Laut Iran, suatu daerah yang pada masa itu berperan penting sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan Islam. Ayahnya adalah seorang muslim yang shaleh, sekalipun ia seorang yang miskin dengan usaha bertenun wol, dia termasuk yang tekun mengikuti majelis para ulama dan pecinta ilmu yang selalu berdo’a agar putranya menjadi ulama yang pandai dan suka memberi nasehat. Tetapi usia ayahnya tidak memberinya kesempatan untuk menyaksikan segala keinginan dan do’anya tercapai. Dia telah meninggal ketika Imam al-Ghazali dan saudaranya Ahmad masih kecil. Ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada seorang sahabat setianya, seorang sufi yang hidup sederhana. Agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya, sekalipun menghabiskan harta warisannya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah al Ghazali. Kedua anak itu dididik dan disekolahkan setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.
Do’a ayahnya dikabulkan oleh Allah SWT, Imam al-Ghazali dan saudaranya Ahmad menjadi ulama besar dan pengagum serta pecinta ilmu. Hampir seluruh hidupnya dicurahkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Dia sangat gemar menuntut ilmu kemudian mengajarkannya pada orang lain. Dia dikenal di Eropa dengan sebutan al-Ghazel, ia sebagai seorang filosofi, teolog, ahli hukum dan sufi.
Berkat bantuan sufi yang sederhana dengan sedikit harta yang diwariskan oleh orang tuanya Imam al-Ghazali dan saudaranya memasuki Madrasah Tingkat Dasar (Madrasah Ibtidaiyah) dengan memahami ilmu-ilmu dasar. Gurunya yang utama di Madrasah tersebut adalah Yusuf al-Nassaj, seorang sufi yang kemudian disebut Imam Haramain. al-Nassajlah yang pertama meletakkan dasar-dasar pemikiran sufi Imam al-Ghazali.
Hampir semua bahasa ilmu pengetahuan dalam literatur keilmuan pernah mencantumkan nama al-Ghazali. Di dunia barat ia dikenal dengan sebutan al-Ghazel dan disejajarkan dengan St. Agustinus, filosuf Kristen yang mengarang buku The City Of God. Bedanya ialah bahwa Agustinus tetap lengket dengan filsafat sampai akhir hayatnya. Sementara Imam al-Ghazali menempuh jalan sufi bagi pencarian kebenaran.
Orientalis kenamaan H. A R. Gibb bukan saja ia mensejajarkannya dengan St. Agustian ansich, tetapi ia menganggap setarap dengan Martin Luther pembaharu Kristen abad ke-16, lebih jauh ia melukiskan karyanya Muhammedanism.
“Cerita tentang perjalanan religiusnya sungguh menawan hati dan bernilai, bagaimana ia menemukan dirinya sendiri dalam pemberontakan melawan kepintaran palsu para teolog dan telah berusaha mencari realitas tertinggi lewat seluruh sistem keagamaan dan filsafat muslim pada masanya dan bagaimana akhirnya, setelah bergumul lama baik fisik, mental dan intelektual, ia terjerembab kembali pada agnetisisme filosofis semata, pada pengalaman pribadi tentang Tuhan dan (di ujung pengembaraan) ia menemukan pada jalan sufi.”
Bahkan pada beberapa tokoh (filosof) barat kemudian pemikiran dan ajaran Imam al-Ghazali banyak diadopsi dan dibahasakan kembali dalam term-term filsafati dalam sosok kebangkitan dunia.
Di dunia barat (muslim) nama Imam al-Ghazali ditempatkan setelah Rasulullah SAW, sebagai pembaharu dan “Hujjatul Islam”, terutama di daerah berkembangnya faham ahlu sunnah wal jama’ah, dimana Imam al-Ghazali sebagai tokoh yang paling dominan.
Pendidikan yang lebih tinggi ditempuh di Jurjan ketika ia berusia dua puluh tahun. Pelajaran di sini berbeda dengan ilmu-ilmu yang dikaji di Thus, ia mulai mendalami pelajaran bahasa Arab dan Parsi. Kehausan Imam al-Ghazali tentang ilmu terpenuhi setelah ia mulai belajar di Madrasah Nizamiyah Naisabur yang dipimpin oleh ulama besar Imam Haramain Abu Ma’ali al-Juwaini, seorang ulama Syafi’i yang mengikuti aliran Asy’ariyah. Sekalipun demikian Imam al-Ghazali merupakan ulama yang memiliki keberanian untuk mengkritik pendapat-pendapat yang berkembang di masa itu.
“Pertemuan dengan Imam Haramain Abu Ma’ali Al-Juwaini berlangsung dari tahun 478 H. Dia mempelajari darinya ilmu-ilmu Fiqh, Kalam, Jadal (ilmu debat), Mantiq dan hal-hal lain yang berkenaan tentang filsafat, dan pada akhirnya ia menjadi terpelajar yang menurut ukuran pada masa itu telah menguasai ilmu-ilmu yang dikuasai.”
Menurut para penulis riwayat hidupnya, sewaktu Imam al-Ghazali belajar di Naisabur telah banyak menulis, namun tulisan-tulisannya yang telah dikenal sekarang semuanya ditulis setelah ia pindah ke Baghdad. Sekalipun demikian ia telah ikut menjadi guru di Sekolah Tinggi Nizamiyah ketika gurunya masih hidup. Al-Juwaini sendiri kagum terhadap kepintaran Imam al-Ghazali sehingga ia mengibaratkannya dengan predikat bagaikan “lautan dalam yang menenggelamkan (bahrun mughriq)”, karena ia ahli dalam beberapa ilmu terutama ilmu jadal (ilmu debat). Bahkan ada sebagian ahli mengatakan bahwa gurunya (al-Juwaini) sempat merasa agak iri hati pada Imam al-Ghazali karena keluarbiasaannya itu, namun al-Juwaini menyembunyikan sikapnya itu. Sekalipun demikian keadaannya Imam al-Ghazali yang memiliki akhlak yang terpuji tetap menghormati al-Juwaini sebagai gurunya.
Imam al-Haramain (Al-Juwaini), mengajarkan berbagai macam ilmu yang berkembang pada masa itu. Pada saat itulah mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman akal Imam al-Ghazali yang luar biasa. Jangkauan pandangannya yang luas, sehingga ia dapat menguasai berbagai ilmu yang berkembang pada masa itu secara mendalam.
Al-Juwaini merasa bangga dengan muridnya ini sehingga sering diberi tugas dalam berbagai diskusi ilmiyah yang mewakili dirinya. Imam al-Ghazali diperkenalkannya dengan ulama-ulama yang sangat menonjol pada waktu itu dan al-Juwaini membimbing Imam al-Ghazali sampai wafat. al-Juwaini pada waktu itu selain sebagai ulama terkemuka juga menjabat sebagai kepala sekolah (Rektor) Universitas an-Nizhamiyah di Nisabur sampai ia wafat pada tahun 1085 M.
Sepeninggal al-Juwaini, Imam al-Ghazali diangkat untuk menggantikan kedudukannya dan meneruskan pengembangan kalam Asy’ary, filsafat, logika, pada waktu itu juga Imam al-Ghazali mendapat bimbingan dengan teori dan praktek sufisme, dari seorang sufi terkemuka bernama al-Farmadhi (w. 1084 M.). Ia kemudian pergi ke Askar, bermaksud menemui Perdana Menteri Nizam al-Mulk, dari pemerintahan Dinasti Saljuk. Ia disambut dengan penghormatan sebagai ulama besar, kemudian dipertemukan oleh Nizam al-Mulk dengan para ulama dan ilmuwan. Semua ulama dan ilmuwan saat itu mengagumi keahlian yang dimiliki Imam al-Ghazali. Ia diminta untuk pergi ke Baghdad pada tahun 484 H, dan memberikan kuliah di Universitas al-Nizhamiyah.
Selama lima tahun (1091-1095), Imam al-Ghazali menjabat rektor al-Nizhamiyah di Bagdad. Ia memberikan kuliah disiplin ilmu hukum dan teknologi dengan memperoleh sukses yang besar. Selama menjadi rektor dan guru besar di al-Nizhamiyah, Imam al-Ghazali mencapai puncak kemasyhurannya. Beberapa karya tulisnya dalam beberapa macam ilmu selalu menjadi perhatian ilmuwan dan ulama. Diantara karya filosofisnya yang terkenal pada masa itu adalah kitab Maqashid al-Falasifah (maksud-maksud pemikiran para filosof). Karya tulis ini diterjemahkan ke dalam bahasa latin pada abad XII dengan judul Logika et Philosophiaal-Ghazali Arabis. Karya dari prakarsa filosofis Imam al-Ghazali dapat ditemukan dalam buku pedoman yang penting mengenai logika Aristotalian yang berjudul Mi’yar al-Ulum (Kriteria ilmu-ilmu). Karya filosofis selanjutnya memberikan kritik terhadap para filosof yang berjudul Tahafut al-Falasifah (kerancuan pemikiran para filosof).
Dalam kitab Tahafut al-Falasifah, Imam al-Ghazali memberikan kritik terhadap para filosof Islam, setelah ia mempelajari filsafat secara mendalam. Kritik terhadap para filosof, tidak menunjukkan bahwa ia seorang yang menolak filsafat sebagai suatu ilmu, tetapi yang ditolak Imam al-Ghazali adalah filsafat pemikiran para filosof yang mengarah pada kajian terhadap esensi (Dzat) Tuhan. Ia berpendapat bahwa argumen-argumen para filosof tidak kuat, dan menurut keyakinannya ada yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Terdapat sepuluh masalah yang dikemukakan para filosof yang dianggap Imam al-Ghazali tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dari sepuluh masalah tersebut ada tiga pendapat mereka yang mengarah pada kekufuran, yaitu:
1. Alam kekal berarti tidak bermula
2. Tuhan tidak mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam
3. Pembangkitan jasmani tidak ada.
Biografi Imam al-Ghazali, tidak bisa dilepaskan dari keadaan pada masanya itu. Ia hidup pada masa yang banyak pertentangan dalam berbagai ilmu dan aliran, demikian juga pertentangan antara sekte yang berkembang pada saat itu. Dalam sebuah karya autobiografinya yang mengharukan, al-Munqidz min al-Dholal, Imam al-Ghazali memberitahukan bahwa ia seorang yang selalu mengadakan pengkajian dan penelitian untuk mencari kebenaran. Ia pelajari berbagai ilmu dan aliran, ia selami lautan perbedaan pandangan dalam berbagai macam ilmu, aliran dan sekte-sekte. Imam al-Ghazali mengatakan : “bahwa perbedaan pendapat manusia tentang agama dan madzhab, banyaknya golongan dan aliran adalah laksana samudera yang sangat dalam, banyak manusia yang tenggelam di dalamnya, hanya sedikit saja yang menyelamatkan diri, setiap golongan mengaku mereka sajalah yang benar dan selamat.
Sejak masa muda sekali, sebelum mencapai usia 20 tahun sampai usia tuanya, Imam al-Ghazali tidak henti-hentinya menerjuni dan mengarungi smudera yang sangat dalam dan luas itu dengan tidak merasa takut sedikitpun. Segala persoalan yang rumit ia selami, setiap kepercayaan dari semua golongan diselidiki sedalam-dalamnya. Dikajinya segala rahasia dan seluk beluk setiap madzhab, untuk memperoleh bukti kebenaran. Diselidikinya ajaran bathiniyah, dzahiriyah, filsafat, ilmu kalam, tasawuf, ahl al-Ibadah, dan aliran-aliran lain.
Imam al-Ghazali selanjutnya mengatakan: “Aku selalu haus, ingin mengetahui dengan sebenarnya tentang segala sesuatu. Keadaan seperti itu terjadi sejak masa mudaku, merupakan suatu instink yang ditakdirkan Allah SWT kepadaku. Akhirnya terlepaslah jiwaku dari belenggu taklid dan terurailah di hadapanku keyakinan yang terpusaka, padahal ketika itu aku masih sangat muda.”
Sebagai pendamba dan pencari ilmu serta kebenaran, Imam al-Ghazali mengawali kajiannya pada pengertian dan hakikat dari ilmu atau hakikat segala sesuatu. Ia mengatakan, bahwa ilmu atau pengetahuan yang sebenarnya adalah tersingkapnya segala sesuatu dengan jelas, sehingga tak ada lagi tempat tersisa untuk keraguan, tidak mungkin salah atau keliru. Contoh dari ilmu itu adalah seperti kita meyakini bahwa sepuluh lebih sedikit dari tiga, maka perkataan itu pasti saya tolak, meskipun orang itu bisa membuat batu menjadi emas atau tongkat menjadi ular. Keyakinanku bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan berubah sedikitpun. Paling akan kupikirkan, mengapa ia bisa mengubah batu menjadi emas, atau tongkat menjadi ular.
Selanjutnya Imam al-Ghazali mengawali pencarian kebenarannya melalui panca indera, tetapi setelah panca indera tidak mampu mengungkapkan kebenaran yang hakiki, ia beralih dengan menggunakan akalnya. Ia pelajari teologi, logika filsafat dan berbagai bidang cabang ilmu lain yang berkaitan dengan penajaman ratio, tetapi ia menjumpai kelemahan dalam sistem pembuktian kebenaran melalui ratio tersebut.
Akhirnya ia beralih ke tasawuf. Dalam tasawuf ia meyakini hakikat kebenaran. Kebenaran itu terjadi tidak dengan mengatur dan menyusun argumen, atau menyusun kalimat, perkataan, dan keterangan melainkan dengan nur (cahaya) yang dipancarkan oleh Allah SWT ke dalam dadaku, “Nur (cahaya) itu adalah kunci dari kebanyakan ilmu pengetahuan, siapa yang mengira bahwa kasyf (pembuka tabir) terhenti pada argumen-argumen, sesungguhnya ia telah mempersempit rahmat Allah yang sangat luas.
Dalam masa kejayaan dan puncak kemasyhurannya yang sangat mengagumkan, Imam al-Ghazali memasuki fase baru dalam kehidupannya. Ia tinggalkan segala kemewahan, kedudukan dan kemsyhurannya di kota Baghdad, ia lakukan perjalanan sufinya, berpetualang bertahun-tahun. Imam al-Ghazali pergi ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji, kemudian pergi ke Damaskus untuk berkhalwat di Masjid Jami’. Ia menghindari masyarakat ramai dengan mengasingkan diri di menara Masajid, beribadah berzikir, melatih bathin, melakukan penajaman bathin dan rasa, serta memerangi hawa nafsu. Ia terus melakukan kegiatan itu sampai sekarang dikenal ada tempat yang disebut Ghazaliyah, dinisbatkan dari nama al-Ghazali.
Imam al-Ghazali melanjutkan petualangan sufinya menuju tempat-tempat bersejarah yang melahirkan para nabi dan rasul. Ia memasuki Palestina, mengunjungi Hebran, Jerussalem dan kota-kota lain yang bersejarah. Selama beberapa tahun ia melakukan kegiatan seorang sufi, sambil menulis kitab-kitab yang menjadi warisan bagi dunia Islam. Kurang lebih seratus judul kitab yang ia tulis dari berbagai disiplin ilmu keislaman. sedangkan kitab Ihya Ulumuddin dikarang waktu ia berkhalwat di Masjid Damaskus.
Imam al-Ghazali menemukan tasawuf sebagai jalan yang terbaik untuk memperoleh keridhaan Allah SWT. Kebenaran tidak bisa didapat dengan panca indera, ratio, pikiran dan perasaan saja, tetapi harus dibarengi dengan menerima cahaya petunjuk Ilahy. Hal itu diwujudkan dengan mengakui otoritas kitab suci atau wahyu-Nya. Setelah memperoleh apa yang dicarinya, Imam al-Ghazali kembali ke Naisabur, di sana ia memberikan kuliah kembali di Universitasal-Nizhamiyah, mengajarkan ilmu-ilmu yang dimilikinya. Kemudian ia kembali ke tanah kelahirannya di Thus. Didirikanlah disamping rumahnya sebuah madrasah untuk ulama fiqih dan sebuah pondok untuk para ahli tasawuf. Ia habiskan usia sampai akhir hayatnya untuk beribadah, mengaji al-Qur’an, mengajar, mengadakan pertemuan dengan kaum sufi, berdakwah, serta kegiatan ibadah lainnya yang mengantarkan dirinya menuju ridha Ilahy.
Pada hari senin, tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H. (1111 M). Imam al-Ghazali wafat menghadap Khaliqnya. Jenazahnya dikebumikan di makam al-Thabiran, berdekatan dengan makam al-Firdausy, seorang penyair yang termasyhur. Sebelum wafat Imam al-Ghazali pernah berkata, yang perkataan itu pernah diucapkan oleh Francis Bacon seorang filosof Inggris: ”Kuletakkan arwahku di hadapan Allah dan tanamkan jasadku di dalam tanah yang sunyi. Namaku akan bangkit kembali di masa yang akan datang.”

B. Aktivitas-aktivitas Imam Al-Ghazali
Aktivitas-aktivitas Imam al-Ghazali tidak dapat dipisahkan dengan sejarah hidupnya dari seorang manusia biasa, murid dari beberapa ulama besar sampai menjadi, mu’alim dan mursyid serta filosof dan sufi besar yang namanya tetap cemerlang sepanjang pemikiran manusia dari masa ke masa.
Imam al-Ghazali hidup pada abad V H. Masa dimana telah telah berkembang aliran faham agama dan aspirasi pemikiran yang saling berlawanan yang lahir sejak abad IV M. Dari satu sisi berkembang tasawuf yang hanya mementingkan kesucian batin dan dan golongan fiqhiyyah yang mementingkan lahiriyah semata. Sementara itu perkembangan ilmu kalam menghantarkan mereka pada suatu perdebatan panjang, bahkan saling mengkafirkan. Justru pada saat itulah Imam al-Ghazali lahir, lalu ia mempertemukan mereka dalam satu i’tikad, menghilangkan keraguan-keraguan kaum muslimin dalam menghadapi perubahan dan perkembangan yang terjadi.
Kemampuan Imam al-Ghazali dalam mempertemukan beberapa golongan yang berlawanan itu rupanya menarik perhatian DR. Zwemmer, seorang pendeta protestan, ia mengatakan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW, ada dua orang besar yang berjasa dalam membangun agamanya pada derajat yang tinggi. Dua orang itu adalah Imam Bukhari dan Imam al-Ghazali.
Masa hidup Imam al-Ghazali adalah masa munculnya aliran-aliran pemikiran di tengah-tengah masyarakat Islam. Aliran-aliran itu berpijak dari aneka ragam permasalahan yang tumbuh di tengah majemuknya pemeluk agama Islam. Berbeda dengan masa Rasulullah SAW, dimana permasalahan belum begitu muncul. Periode pemerintahan Khulafa ar-Rasyidin adalah awal keragaman permasalahan timbul, dan puncaknya pada pemerintahan sayyidina Ali r.a. dengan ditandai makin hangatnya permasalahan-permasalahan yang menembus hingga persoalan politik. Wujudnya adalah ketidak setujuan para sahabat terhadap penobatan Ali r.a. sebagai khalifah hingga terjadi peperangan sesama muslim. Perang saudara muncul pertama kali adalah perang Unta (Jamal) yang dipimpin oleh Thalhah dan Zubair dan didukung oleh Sayyidah Aisyah r.a. isteri Rasulullah SAW dengan memiliki unta, dapat dipatahkan. Pemberontakan yang kedua dipimpin oleh Muawiyah dan Amru bin Ash di Shiffin. Perang ini sebagai musabab perpecahan hingga Ali r.a. terbunuh tahun 661 M.
Persoalan-persoaln yang terjadi dalam lapangan politik sebagai digambarkan di atas inilah yang akhirnya membawa timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan-persoalan siapa yang kafir dalam arti siapa yang keluar Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Lambang pemecahan politik adalah gencatan senjata melalui tahkim (albitrase). Tahkim adalah suatu frase pemecahan persoalan politik dengan memasukan masalah aqidah yang akhirnya permasalahan kafir mengkafirkan. Dengan adanya tahkim hasilnya muncul aliran di tengah kaum muslimin yang dinamakan “Khawarij”.
Pemahaman masalah aqidah terus berkembang menyebabkan timbulnya aliran seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan sangat dominan adalah Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
Mutazilah dan Asy’ariyah merupakan dua aliran yang sangat berperan. Karena keduanya disamping menggunakan dalil naqli juga telah muncul argument aqli. Dan yang paling dominant di bidang ratio adalah Mu’tazilah, sedang dari golongan Asy’ariyah muncul Maturidiyah yang terbagi menjadi dua: Maturidiyah Samarkand dan Maturudiyah Baghdad. Maturidiyah Samarkand cenderung rasionalis, sedang Maturidiyah Baghdad masih condong mengikuti Asy’ariyah.
Berkembangnya faham rasionalis dikalangan teologi sebagai akibat dimulainya penterjemahan buku-buku asing (Yunani) dan sebagai dampak yang sangat menonjol adalah lahir golongan filosof dengan bendera filsafatnya yang cenderung mengembangkan teori-teori Plato, Aristoteles dan neo Platonisme, dan di sisi lain berkembang pula aliran Bathiniyah sebagai reaksi terhadap kedua aliran di atas yang menggunakan inderawi.
Ketiga aliran tersebut diatas, (Teologi, Filsafat dan Bathiniyah) pada masa Imam al-Ghazali masih sangat dominan, sehingga Imam al-Ghazali sebagai peribadi yang senantiasa haus akan ilmu pengetahuan cenderung mempelajari ketiga aliran tersebut dengan seluruh ajaran-ajarannya.
Penguasaannya terhadap ketiga aliran itu menyebabkan Imam al-Ghazali ahli di bidang itu dengan memunculkan karya-karyanya pada setiap bidang tentang faham-faham itu yang bersifat kritik dan ventikatif deplomental. Finalisasi dari evolusi pemikirannya muncullah skeptisisme dalam dirinya sebagai impact dari penelitiannya terhadap hakekat yang diajarkan oleh ketiga aliran itu. Sebagaimana dijelaskan dalam karyanya al-Munqid min al-Dhalal:
Aku mencebur ke gelombang samudera dalam tidak pernah merasa takut. Tiap soal yang sulit kuselami dengan penuh keberanian. Tiap kepercayaan dari suatu aliran kuselidiki sedalam-dalamnya, kukaji segala rahasia dan seluk beluk tiap madzhab untuk mendapatkan bukti, mana yang benar mana yang bathil, mana yang asli mana yang diadakan. Demikian kuselidiki ajaran-ajaran kebatinan (bathiniyah), Zahiriyah, ajaran-ajaran ahli filsafat, ahli ilmu kalam dan tasawuf, aliran-aliran ibadah dan lain-lain. Dan tidak ketinggal juga aliran kaum Zindiq, apa sebabnya mereka berani menyangkal adanyaTuhan.

Kitab al-Munqidz min al-Dhalal pada intinya berisi sejarah hidup pengembaraan pemikirannya, keragu-raguan, proses pencarian serta perenungan dalam mengarungi lautan ma’rifat. Didalamnya ia lukiskan betapa berat perjuangannya dalam mempelajari berbagai aliran. Faham dan keyakinan pada masa itu membawa pada kegoncangan pemikiran.
Menurut pengkajian A’la al-Maududi, yang dijelaskan oleh Drs. Zainuddin dalam bukunya Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali, dalam aktivitasnya Imam al-Ghazali ada delapan segi amaliah pembaruan pada masa hidupnya, yaitu:
1. Pengkajian filsafat Yunani dengan cara yang mendalam dan teliti lalu mengemukakan kritik yang tajam, yang kemudian dimasukannya ke dalam hati dan jiwa kaum muslimin.
2. Meluruskan kekeliruan yang terjadi akibat upaya perbaikan yang dilakukan oleh ulama mutakallimin yang kurang menguasai logika.
3. Menjelaskan akidah-akidah islami dan prinsip-prinsipnya melalui logika yang tidak bertentangan dengan filsafat dan ilmu logika yang berkembang saat itu. Imam al-Ghazali juga berusaha menjelaskan berbagai hikmah dan rahasia syari’at dan ibadat dalam rangka meluruskan pandangan masyarakat, yang selama ini diracuni suatu keyakinan bahwa agama mereka sudah tidak sesuai lagi dengan akal.
4. Menentang semua aliran keagamaan yang ada pada masanya, serta berusaha mempertemukan segi-segi perbedaan mereka.
5. Memperbaharui pemahaman keagamaan umat dan menyatakan ketidakbergunaan keimanan seseorang yang tidak disertai dengan komitmen batin, mengikis habis taklid buta di kalangan mereka dan berusaha mendorong umat agar kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah yang bersih serta menghidupkan kembali semangat ijtihad.
6. Melakukan kritik terhadap system pendidikan dan pengajaran yang telah usang, menggantikannya system baru. Dalam system pendidikan dan pengajaran lama itu terdapat dua kelemahan; pertama, polarisasi ilmu agama dan ilmu umum yang tidak mustahil akan menyebabkan umat akan menerapkan sekularisasi, pandangan dikotomi semacam ini, menurut Imam al-Ghazali jelas amat keliru. Kedua, masuknya berbagai hal yang di atas memiliki ilmu Syari’at yang pada hakikatnya tidak memiliki kaitan apapun dengan syari’at, yang bisa mengakibatkan munculnya keagamaan dalam masyarakat yang menjurus pada kesesatan.


7. Mengkaji moral umat dengan pengkajian yang mendalam, Imam al-Ghazali memang memiliki kesempatan yang amat luas untuk mengungkapkan kehidupan ulama, tokoh-tokoh agama, umara, pangeran-pangeran dan orang awam.
8. Mengkritik system pemerintahan dengan bebas dan berani serta mengimbau perlunya perbaikan-perbaikan, lalu menyebarluaskan semangat kebangkitan di kalangan umat, agar mereka tidak takut terhadap kesewenang-wenangan yang dilakukan terhadap mereka serta mendorong agar mereka mengemukakan pendapat-pendapatnya tanpa disertai rasa takut dan khawatir.
Demikianlah hal-hal yang melatarbelakangi aktivitas-aktivitas Imam al-Ghazali, dimana Ia dengan cermat melakukan sesuatu “Sintetik Islami” terhadap aliran-aliran yang muncul pada masanya, sehingga ia mampu menghasilkan pemikiran-pemikirannya dan tampil dengan teori-teorinya sendiri tentang kebenaran, yang selalu dikaitkannya pada ajaran Islam. Karenanya aktivitas Imam al-Ghazali yang memunculkan pemikiran-pemikirannya sebagai usaha mengembalikan aliran-aliran kepangkalnya dengan memahami ilmu qur’ani dalam menegakkan pendidikan islamiyah.




C. Karya-karya Imam Al-Ghazali
Karena luasnya ilmu pengetahuan Imam al-Ghazali, maka sangat sulit sekali untuk menentukan dibidang dan spesialisasi apa yang digelutinya. Hampir semua aspek-aspek keagamaan dikajinya. Di perguruan Tinggi Nizamiyah, Imam al-Ghazali banyak mengajarkan tentang ilmu fiqih versi al-Syafi’I, sebab ia pengikut madzhab Syafi’I dalam bidang fiqih. Tetapi Imam al-Ghazali juga mendalami bidang-bidang lain seperti : Filsafat, Kalam, da Tasawuf. Oleh karena itu menetapkan Imam al-Ghazali sebagai tokoh dalam satu segi tentu tidaklah adil. Sangat tepat sekali bila gelar Hujjatul Islam ia sandang dengan pertimbangan Imam al-Ghazali mempunyai keahlian (kualifikasi) dimensional.
Kesemuanya itu dapat diteliti melalui karya-karyanya. Sebagai ulama besar yang kreatif dan mempunyai keahlian yang sangat luas Imam al-Ghazali sangat gemar menulis. Aneka ragam bidang dia menulis dengan penuh percaya diri sehingga nampak tulisan-tulisannya itu mampu mewakili masalah yang dia kemukakan. Menurut Musthafa Galab, Imam al-Ghazali telah banyak meninggalkan tulisannya berupa buku dan karya ilmiah sebanyak 228 kitab yang terdiri dari beraneka macam ilmu pengetahuan yang terkenal pada masanya. Kitab-kitab yang diterbitkan adalah sebagai berikut:
1. Dalam Bidang Tasawuf
a. Adab l-Shufiyah terbit di Mesir
b. Al-Adab fi al-Din, telah dicetak di Kairo tahun 1343 M.
c. Al-arba’in fi Ushulu al-Din, merupakan kitab ketiga dari Jawahir al-Qur’an, terbit di Mekkah tahun 1302 M.
d. Al-Imlau ‘am asykali l-Ihya, sebagai jawaban beliau kepada orang yang menentangnya terhadap beberapa bagian dalam bukunya Ihya. Dicetak bersama pinggiran Ittihaf al-Sabah al-Muttaqin Zabidy di Fes tahun 1302 M.
e. Ihya ‘Ulumuddin, merupakan buku fatwa dan karya beliau yang paling besar, telah dicetak berulang kali di Mesir 1281. Dan terdapat tulisan tangan dibeberapa perpustakaan di Berlin, Wina, Leiden, Inggris, oxford dan Paris.
f. Ayyuha al-Walad, beliau tulis untuk salah seorang temannya sebagai nasehat kepadanya tentang zuhud, targhib dan tarhib. Dicetak dengan terjemahan di Wina tahun 1838 dan tahun 1842, dan juga dicetak di Mesir, dan ada tulisan tangan di beberapa perpustakaan di Eropa dan sudah diterjemahkan kedalam bahasa Perancis oleh DR. Taufiq Shifa tahun 1958.
g. Bidayah al-Hidayah wa tahdzib al-Nufuz bil adab al-Syariyah, yang telah dicetak di Kairo berulang kali. Dan ada tulisan tangan di Berlin, Paris, London, Oxford, Al-Jazair dan Guthe. Dan ada ringkasannya, bahkan ada syarahnya ditulis oleh ulama Indonesia: Muhammad Nury yang diberi nama Maraqy al-‘Ubudiyah.
h. Jawahir al-Qur’an wa Dauruhu, telah dicetak di Makkah, Bombay dan Mesir dan ada tulisan tangan di Leiden, Musium Baritani (Inggris) dan Dar al-Kutub Mesir.
i. Al-Hikmah fi Makhluqat Allah, telah dicetak berulangkali di Mesir.
j. Khulasut al-Tasauf, beliau tulis dalam bahasa Persi, dan sudah di terjemahkan oleh Muhammad al-Kurdy, wafat tahun 1322 H. dicetak di Mesir 1327 H.
k. Al-Risalah Laduniyah.
l. Al-Risalah al-Wadziyah, di cetak di Kairo tahun 1343 H.
m. Fatihah al-Ulum, terdiri dari dua pasal, ada tulisan di perpustakaan Berlin dan di Paris, dicetak di Mesir tahun 1322 H.
n. Qawa’idu al-‘Asyrah, dicetak berulangkali di Mesir.
o. Al-Kasyfu wa al-Tabyin fi Gurur al-Halqi Ajmain, dicetak dengan (tanhibu al-mughtar) oleh Sya’rawi.
p. Al-Mursyid al-Amin ila Maudihat al-Mu’minin, merupakan ringkasan dari al-ihya terbit di Mesir.
q. Musykilat al-Anwar, di dalamnya dibahas tentang filsafat Yunani dari segi pandangan tasawuf, dicetak di Mesir tahun 1343 H., dan ada tulisan tangan di Dar al-Kutub di Mesir dan dua terjemahan dalam bahasa Ibrani.
r. Mukasyafat al-Qulub al-Muqarrab ila al-Hadharati alami al-Ghuyub,merupakan ringkasan al-Mutacasyifatu al-Kubra oleh al-Ghazali, ringkasan dari beberapa keutamaan.
s. Minhaju al-‘Abidin ila al-Jannah, dikatakan ini merupakan karya terakhir beliau, terbit di Mesir berulangkali, ada tulisan tangan di Berlin, Paris dan Al-Jazair. Buku ini ada ringkasannya dan syarahnya yang diterjemahkan kedalam bahasa Turki.
t. Mizan al-Amal, merupakan ringkasan ilmu jiwa dan mencari kebahagian yang tidak dapat diperoleh kecuali dengan ilmu dan amal, dan penjelasan terntang keutamaan amal, ilmu dan belajar, dicetak di Leipziq tahun 1839 dan di Mesir tahun 1328 H.
2. Dalam Bidang Aqidah
a. Al-Ajwibah al-Ghazaliyah fi Masail al-Ukhrawiyah.
b. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, terbit berkali-kali di Mesir.
c. Al-Jamu al-‘Awam ‘An Ilmu al-Kalam, terbit di Mesir dan di India, ada nasakh tulisan-tangan dalam tulisan Eropa.
d. Al-Risalah al-Quddusiyah fi Qawaidu al-‘Aqaid, terbit di Iskandariyah.
e. ‘Aqidah Ahlu al-Sunnah, terbit di Iskandariyah dan terdapat naskah di Berlin dan Oxford London.
f. Fadlailu al-Batiniyah wa Fadlailu al-Mustadlhariyah dan dinamakan Al-Mustadhary tersebar bagian yang besar, didahului dengan muqaddimah dan bahasan yang panjang dengan bahasa Jerman, terbit di Leiden tahun 1912 M., dengan redaksi bahasa pada kitab al-Dai al-Islamiyah Ali bin Walid dalam kitabnya (Dami’ al-Bathil Wahtaf al-Maradhil).
g. Fishal al-Tariqah baina al-Islam wa Zindiqah, Terbit di Mesir tahun 1343 H.
h. Al-Qisthas al-Mustaqim, terbit berulangkali di Mesir dan terdapat syarah yang namanya Mizan al-Taqwim.
i. Kimia al-Sa’adah, terbit berulangkali di Mesir.
j. Al-Maqahidu al-Isny fi Syarhi Asma Allah al-Husna, terbit di Mesir tahun 1324 H.
3. Karya dalam Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh
a. Asrar al-Hajj, dalam fiqih al-Syafi’i, terbit di Mesir.
b. Al-Mustasfa fi ‘Ilmi al-Ushul, terbit berulangkali di Kairo, terdapat ringkasan tulisan ini di Dar al-Kutub Mesir dan di perpustakaan Guthe.
c. Al-wajiz fi al-Furu’, kitab dalam Madzhab syafi’i dan Syarahnya belum terbit.
4. Karya Tentang mantiq dan Filsafat
a. Thafut al-Falasifah, terbit di Mesir berulangkali, di Bombay tahun 1304 H. dan di Beirut telah diterjemahkan kedalam bahasa Ibrani.
b. Risalah al-Thayr, terbit di Kairo tahun 1343 H.
c. Mihka al-Nadharij fi al-Manthiq, terbit di Mesir.
d. Misykat al-Anwar, terbit di Mesir tahun 1343 H.
e. Ma’ary al-Qudsi fi Madarij Ma’rifat al-Nafs, terbit di Kairo 1346 H.
f. Mi’yar al-Ilm fi al-Mantiq, terbit di Mesir tahun 1329 H.
g. Maqhasid al-Falasifah, tentang Mantiq dan hikmah ketuhanan dan Hikmah Thabi’at, terbit di Leiden 1888 M. Lengkap dengan syarah, di Kairo terbit berulangkali, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin telah terbit di Randuqiyah tahun 1506 M.
h. Al-Munqidz Min al-Dhalal, terdapat ringkasan tulisan tangan di perpustakaan-perpustakaan Berlin, Leiden, Paris, Auskrial dan Darul Kutub Mesir, disalin secara panjng lebar dalam kitab filsafat Arab yang terbit tahun 1842 M di Prancis, serta telah disadur berulangkali di Damsyik dan Beirut.
5. Karya Manuskrip
Tentang Tasawuf:
a. Jami’ al-Haqaid Bitajribah al-‘Alaiq, ada ringkasan tangan di perpustakaan Usala.
b. Zuhd al-Fatih, terdapat ringkasan tangan di musium Britain.
c. Madkhal al-Suluk ila Manazil al-Mulk, membahas tentang kehidupan sufi.
d. Nu al-Syam’ah fi Bayan Dluhri al-Jami’ah, ada ringkasan tangan di Leiden.
Tentang Fiqh dan Ushul Fiqh:
a. Al-Basith fi al-Furu ‘Ala Nihayah al-Muthlab Li Imam al-Haramain, ringkasan di Mekah dan Dar al-Kutub Mesir.
b. Ghayah Masail al-Daur, ringkasan di perpustakaan musium Britain,
c. Al-Mankhul fi al-Ushul, ringkasan di Dar al-Kutub Mesir.
d. Al-Wasith al-Muhidth di Iqhtar al-Basith, ringkasan tangan di perpustakaan Munchen dan di Dar al-Kutub Mesir.

Tentang Filsafat:
a. Haqaid al-Ukim Li Ahli al-Fahm, ada ringkasan di perpustakaan Paris.
b. Al-Ma’arif al-‘Aqliyah wal al-Hikmah al-Ilahiyah, ringkasan di perpustakaan Paris dan Oxford.
c. Fadhail al-Qur’an, ringkasan tertulis di Dar al-Kutub Mesir.

Demikian sebagian besar karya Imam al-Ghazali yang dapat dibaca sebagai khazanah ilmu pengetahuan yang mengagumkan dan masih banyak lagi kitab-kitab lain yang dapat dijadikan rujukan kegiatan ilmiyah. Kitab-kitab itu sebagian besar besar berada di perpustakaan asing. Hal ini menunjukkan bahwa karya Imam al-Ghazali memiliki arti yang sangat besar pada perkembangan dunia pendidikan islamiyah, karena dari sebagian besar karya Imam al-Ghazali tidak lepas dari pembahasan yang berkaitan dengan pendidikan islamiyah.


BAB IV
PENDIDIKAN AKHLAK ANAK DILINGKUNGAN KELUARGA
MENURUT IMAM AL-GHAZALI

Dalam menguraikan pokok bahasan pada bab IV ini yaitu pendidikan akhlak anak dilingkungan keluarga menurut Imam al-Ghazali, penulis akan membaginya dalam beberapa sub bahasan. Sebagai salah satu ulama Hujjatul Islam yang telah lama dalam mengabdikan diri pada gelombang pendidikan. Beranjak dari pendidikan akhlak menurut pandangan Imam al-Ghazali, penulis akan membagi pokok bahasan dalam bab ini adalah sebagai berikut: Gagasan Imam al-Ghazali tentang pendidikan akhlak dan Metode pendidikan akhlak dilingkungan keluarga menurut Imam al-Ghazali.

A. Gagasan Imam Al-Ghazali Tentang Pendidikan Akhlak
Suatu bidang ilmu pengetahuan yang paling banyak mendapat perhatian, pengkajian dan penelitian oleh Imam al-Ghazali adalah lapangan ilmu akhlak (tazkiatu an-Nafs wa ar-Ruh) karena banyak berkaitan dengan perilaku manusia, sehingga setiap kitab-kitanya yang meliputi berbagai bidang selalu ada hubungan dengan materi akhlak dan pembentukan jiwa serta budi pekerti manusia.
Imam al-Ghazali memang begitu besar sekaligus usahanya yang tak pernah berhenti untuk mengarahkan kehidupan manusia menjadi berakhlak, bermoral. Imam al-Ghazali menyelidiki bidang ilmu akhlak ini, dengan berbagai macam metode, antara lain; dengan pengamatan yang teliti, pengalaman yang mendalam, penguji cobaan yang matang terhadap semua manusia dalam berbagai lapisan masyarakat. Oleh karena itu gagasan mengenai pendidikan akhlak (tazkiatun an-Nafs wa ar-Ruh) sangat luas dan mendalam, sebagian dari pemikiran Imam al-Ghazali di bidang akhlak penulis ungkap sebagai berikut:
أن الإعتدال في الأخلاق هو صحة النفس والميل عن الإعتدال سقم ز مرض منها كما أن الإعتدال في مزاج البدن هو صحة له. فتقول مثال النفس في علاجها يمحوالرذائل والأخلاق الرديئة عنها و جاب الفضائل والأخلاق الجميلة إليها.

Artinya:…”Bahwa kebaikan budi pekerti, adalah sehatnya jiwa, miring dari budi pekerti itu bencana dan menjadi penyakit jiwa, sebagaimana baiknya sifat tubuh, adalah menjadi tubuh. Maka baiklah badan manusia kita ambil menjdi contoh. maka kami mengatakan, bahwa seperti jiwa manusia pengobatannya adalah dengan menghilangkan semua perilaku jelek dan akhlak yang rendah dari jiwa. Dan melakukan segala sifat keutamaan dan akhlak yang baik pada jiwa.”

Lebih lanjut Imam al-Ghazali mengemukakan:
إعلم أن الطريق في رياضة الصبيان من أهم الأمور وأوكدها والصبي أمانة عند والدين وقلبه الطاهر جوهرة نفسية سادجة خالية عن كل نفس و صورة وهو قابلة لكل ما نفش مائل إلي كلما بمال به إليه ونعود الخير وعلمه نشأ عليه وسعد في الدنيا والأخرة.
Artinya: ...”Ketahuilah kiranya, bahwasanya melatih anak-anak itu termasuk dari urusan yang sangat penting dan termasuk urusan yang sangat kuat perlunya. Karena anak-anak kecil itu menjadi amanat bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah sebagai mutiara yang indah, halus, sunyi dari setiap lukisan dan ia condong pada setiap sesuatu yang dicondongkan kepadanya. Maka jikalau anak itu dibiasakan kepada kebaikan dan diajarkan kepada kebaikan, niscaya ia tumbuh pada kebaikan dan ia berbahagia di dunia dan akhirat.”

Gagasan tentang akhlak menurut Imam al-Ghazali, adalah sebagai berikut:
الخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها نصدرالأفعال بسهولة و يسر من غير حاجة إلي فكر وروية فإن كانت الهيئة حيث تصدر عنها الأفعال الجميلة المحمودة عقلا و و شرعا وماحيث تلك الهيئة خلقا حسنا وإن كان الصادرعنهما الأفعال القبيحة سميت التي هي المصدر خلقا سيئا

Artinya: ...” Al-Khuluk adalah ibarat perilaku yang tetap dan meresap dalam jiwa, dari padanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan wajar dan mudah, tanpa padanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan wajar dan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan. Maka apabila keadaan yang muncul itu perbuatan baik-baik dan terpuji secara akal dan syara’, maka itu disebut budi pekerti yang baik. Dan apabila perbuatan-perbuatan yang muncul dari keadaan yang buruk, maka menjadi tempat munculnya perbuatan-perbuatn buruk itu disebut budi pekerti buruk.”

Dari gagasan di atas, penulis dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa adalaha merupakan sikap yang tertanam dalam jiwa yang melahirkan perbuatan-perbuatan tertentu secara spontan dan konstan. Perbuatan seseorang dapat dikatakan sebagai akhlaknya jika melakukan perbuatan-perbuatan berdasarkan kepada:
1. Perbuatan itu harus spontan dan konstan, yaitu dilakukan berulang kali, dalam bentuk yang sama sehingga dapat menjadi adat kebiasaan.
2. Perbuatan yang spontan dan konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksif dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan adanya tekanan dari orang lain.
3. Antara dorongan jiwa dengan saat melakukannya bersifat spontanitas, karena telah terbiasa, bukan karena pertimbangan untung dan rugi.
Kemudian gagasan Imam al-Ghazali tersebut di atas juga mengemukakan norma-norma kebaikan dan keburukan akhlak dilihat dari pandangan akal pikiran dan syari’at agama Islam. Akhlak yang sesuai dengan akal pikiran dan syari’at dinamakan akhlak mulia dan baik, sebaliknya akhlak yang tidak sesuai dengan akal pikiran dan syari’at dinamakan akhlak tercela dan buruk, yang hanya menyesatkan manusia.
Ajaran akhlak menemukan bentuknya yang sempurna pada agama Islam dengan titik pangkalnya pada tuhan dan akal manusia. Adalah amat jelas bahwa dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang mengandung pokok-poko akidah keagamaan, keutamaan akhlak dan prinsip-prinsip perbuatan.
Perhatian ajaran Islam terhadap pembinaan akhlak lebih lanjut dapat dilihat dari kandungan al-Qur’an yang banyak sekali berkaitan dengan perintah untuk melakukan kebaikan, berbuat adil, menyuruh berbuat baik dan mencegah melakukan kejahatan dan kemunkaran. Sebagaimana firman Allah berikut ini:
إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون

Artinya:”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS: al –Nahl, 16:90)

من عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون

Artinya:”Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kehidupan yang baik dan sesungguhnya. Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS: al:Nahl, 16:97)

Oleh karena itu Imam al-Ghazali mengibaratkan akhlak yang baik itu dengan keindahan bentuk lahir manusia, yaitu kesempurnaan bentuk lahir bukan hanya dengan indahnya dua biji mata tetapi adanya hidung, mulut dan pipi bahkan seluruhnya harus baik, sehingga menjadi sempurna dan keindahan lahir itu secara mutlak.
Dalam hal ini Imam al-Ghazali mengatakan:
فذلك في الباطن أربعة أركان لابد من الحسن في جميعها حتي يتم حسن الخلق فإذا استوت الأركان الأربعة واعتدت وتناسبت حصل الخلق وهو قوة العلم وقوة الغضب وقوة الشهواة وقوة العدل بين هذه القوي الثلا ث

Artinya:”Maka demikian pula keindahan batin itu ada empat rukun yang harus baik seluruhnya. Jika keempat bagian telah tegak, seimbang dan serasi paduannya, maka akan terwujudlah budi pekerti yang baik. Keempat rukun itu adalah kekuatan ilmu, kekuatan godhob, kekuatan syahwat dan kekuatan adil berada diantara tiga kekuatan tersebut.”

Gagasan Imam al-Ghazali tentang akhlak tersebut menyangkut empat unsur pokok yang ada dalam keindahan batin, sebagaimana yang tertera diatas, jelaslah fungsi keempat unsur tersebut dengan diberikannya ibarat-ibarat dan contoh-contoh yang nyata, membimbing individu agar berusaha mencapai seimbang dan terpadu dari unsur-unsur itu, supaya menjadi sempurna budi pekertinya secara penuh.
Akhlak manusia yang ideal dan mungkin dapat dicapai dengan usaha pendidikan dan pembinaan yang sungguh-sungguh ialah terwujudnya keseimbangan. Akan tetapi ada manusia yang dapat mencapai keseimbangan empat unsur akhlak tersebut, kecuali Rasulullah SAW, karena beliau sendiri ditugaskan oleh Allah SWT untuk meyempurnakan akhlak manusia, karenanya beliau sendirilah yang sempurna akhlaknya.
Dalam pandangan Imam al-Ghazali, bahwa tujuan (ahdaf) Pendidikan Islam yang utama adalah menjaga kesucian fitrah manusia dan melindunginya agar tidak jatuh ke dalam penyimpangan serta mewujudkan penghambaan dirinya kepada Allah SWT. Yang demikian itu adalah karena Allah menciptakan manusia bertujuan untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون

Artinya:…”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah kepada-Ku.”(Adz-Dzariyat, 51-56)

Tujuan yang hendak direalisasikan oleh kerja tarbiyah adalah sesuatu yang utama dan agung, karena ia adalah hal yang sangat dicintai Allah SWT. dan manusia itu tidak diciptakan kecuali untuk sesuatu yang dicintai dan diperintahkan-Nya, yaitu supaya beribadah kepada-Nya. Berikut ini akan dikemukakan beberapa tujuan pendidikan akhlak menurut pandangan Imam al-Ghazali, yaitu:
1. Membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, karena orang yang memiliki keimanan yang tinggi dan ketaqwaan akan senantiasa dekat dengan Allah. Mereka beriman dan bertakwa, dengan melakukan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, dengan penuh keikhlasan akan senantiasa dekat dengan-Nya.
2. Memiliki ilmu pengetahuan dan mengamalkannya bagi kesejahteraan umat Manusia. Al-Ghazali mengumpamakan orang yang memiliki ilmu dan menyadarinya sehingga ia mengamalkan ilmu itu sebagai orang yang yang agung di alam malakut, ia bagaikan matahari yang menyinari alam di sekitarnya dan ia memancarkan sinar dari dirinya sendiri, orang itu bagaikan farfum misk (kesturi) yang menebarkan keharuman disekelilingnya, sedang ia sendiri memiliki bau harum.
3. Mencapai kelejatan ilmiah
Sebagai tujuan dari pendidikan adalah untuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Mengenai hal hal ini ia menyatakan bahwa bila seseorang mengadakan penelitian dan penalaran terhadap ilmu pengetahuan, maka ia akan menjumpai kenikmatan dan kelezatan padanya. kenikmatan dan kelezatan padanya. Kenikmatan dan kelezatan padanya. Kenikmatan dan kelezatan yang dimaksud disini adalah kenikmatan dan kelezatan intelektual, sehingga dapat menumbuhkan kecintaan mendalam terhadap ilmu, dan mendalaminya dengan penuh semangat dan kesungguhan.
4. Membentuk keluhuran akhlak dan budi pekerti, al-Ghazali mengarahkan pendidikannya pada pembentukan akhlak yang qur’ani dan budi pekerti yang luhur. Imam al-Ghazali menyarankan kepada setiap penuntut ilmu dan para ulam tidak diperkenankan mencari ilmu dengan tujuan memperoleh jabatan, meraih harta untuk bermegah-megahan di hadapan orang banyak.
5. Memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Memperoleh kebahagiaan masa kinidan masa yang akan datang,merupakan dambaan semua manusia. Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa kedudukan yang paling agung bagi seorang manusia adalah kebahagiaan abadi. Karena itu di jalan untuk mencapainya harus dengan ilmu dan amal.
6. Merehabilitasi akhlak umat yang telah rusak, agar menjadi baik kembali. Memperbaiki berbagai kerusakan lain ditengah-tengah masyarakat, mengarahkan mereka dari kegelapan menuju cahaya dan dari keburukan menuju kebaikan.
7. Menanamkan persaudaraan, kasih sayang sesama umat manusia dan menjaga kelestarian alam semesta. Dalam berbagai kajian Imam al-Ghazali menjelaskan pentingnya menanamkan persaudaraa, kasih sayang terhadap makhluk. kajian itu disebutkan dalam berbagai penjelasan yang cukup panjang lebar, di antaranya dalam bab kasih sayang, persaudaraan dan pengenalan, serta hubungan dengan sesama makhluk.
Jelaslah dapat penulis simpulkan bahwa ibadah yang baik kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ibadah yang memiliki dampak baik terhadap akhlak, dan pendidikan akhlak yang baik adalah pendidikan yang mampu menumbuhkan sikap penghambaan/peribadahan kepada Allah dengan sempurna dan dengan cara yang paling baik dan memperoleh kebahagiaan yang hakiki (al-sa’adat al-haqiqiyat)..
Pendidikan akhlak yang ditekankan pada pembiasaan, keteladanan, dan latihan yang dilakukan sejak kecil akan menghasilkan perilaku yang ahlaqi. Karena perbuatan baik dan dibiasakan itu akan mendarah daging, mempribadi, dan dengan mudah dapat dilakukan.
Fathiyah Hasan Sulaiman mengemukakan bahwa: Pandangan Imam al-Ghazali tentang pendidikan akhlak, seperti mengarahkan perangai anak, sangat kokoh. Di dalam bukunya, dia sering menerangkan bahwa proses pendidikan merupakan proses interaksi antara fitrah dengan lingkungan. Dia mengkritik orang-orang yang berpandangan bahwa tabi’at manusia tidak dapat diubah. Dikatakannya, bahwa mereka itu adalah orang-orang yang malas. Mereka memandang proses pendidikan dan memperbaiki akhlak anak-anak sangat sulit. Mereka mengemukakan dalil bahwa penciptaan atau bentuk lahir manusia itu tidak mungkin dapat diubah. Tidak mungkin orang yang berbadan tinggi dapat dipendekan, dn orang yang jelek dapat dijadikan tampan dan cantik.

Dari keterangan tersebut di atas, Imam al-Ghazali berpendapat jika tabi’at manusia itu tidak mungkin diubah, maka sudah barang tentu nasihat dan petunjuk bahkan pendidikan secara umum akan sia-sia belaka. Betapa kuatnya pandangan Imam al-Ghazali tentang kemungkinan pendidikan seperti memperbaiki, menyempurnakan dan mendidik akhlak individu dan mensucikan jiwa mereka.
Lebih lanjut Fathiyah mengemukakan: Dengan latihan, tabi’at binatangpun bisa diubah, sehingga binatang yang buas menjadi jinak, apalagi manusia. Tabi’at manusia lebih memungkinkan dan lebih mudah diubah dan dibina.
Oleh karena itu Imam al-Ghazali berpendapat bahwa cara yang terbaik untuk memiliki budi pekerti yang utama adalah dengan melalui asuhan dan latihn-latihan melaksanakan sifat-sifat yang baik. Anak-anak dilatih dan dibiasakan membantu orang tua, membantu orang lemah dan menolong masyarakat. Mereka dibawa mengunjungi perkampungan atau tempat-tempat orang miskin, orang-orang ditimpa bahaya alam, tanah longsor, banjir, dan dibawa kepanti-panti asuhan, ke rumah jompo dan ke rumah sakit. Mereka dilatih menyerahkan oleh-oleh yang telah disediakan. Apabila kerendahan hati hendak ditanam dan diterapkan di jiwa yang angkuh, biasakan mengerjakan pekerjaan yang berlumpur dan kotor. Misalnya menyapu jalan, membersihkan sluran air, pekarangan, mesjid, gedung sekolah. Pada malam hari mereka dibawa tidur di masjid atau di mushala, tanpa kasur dan tanpa bantal. Pada mulanya mereka akan sangat kaget, tetapi berkat latihan dan asuhan yang berulang-ulang mereka sendiri merasa senang, tabah dan hilanglah perasaan sombong dan angkuh.
Imam al-Ghazali menganjurkan sifat angkuh dan sifat buruk dilenyapkan dari seseorang dengan latihan-latihan dan prktek yang bertentangan. Imam al-Ghazali menetapkan bahwa budi pekerti dapat diubah melalui asuhan dan latihan-latihan. Kalau tidak demikian apalah artinya ajaran-ajaran Qur’an dan Hadits-hadits Rasul beserta tabligh-tabligh dan khutbah-khutbah. Binatang-binatang seperti anjing dan kuda dapat dijinakan dan dihajar, terlebih lagi anak cucu Adam, demikian kata Imam al-Ghazali.
Keyakinan Imam al-Ghazali dalam meluruskan karakter dan mendidik akhlak melalui budi pekerti adalah kuat sekali. Dengan kata lain aqidah Imam al-Ghazali tentang sesuatu yang dapat diperbuat oleh pendidikan, seperti memperbaiki, menyempurnakan dan mendidik moral dan mensucikan mereka.
Imam al-Ghazali mengatakan:
Apabila anak itu dibiasakan untuk mengamalkan amal yang baik, diberi pendidikan kearah itu, pastilah ia akan tumbuh diatas kebaikan tadi akibat positifnya ia akan selamat sentosa di dunia dan akhirat. Kedua orang tuanya dan semua pendidik, pengajar serta pengasuhnya ikut serta memperoleh pahalanya. Sebaliknya jika anak itu sejak kecil sudah dibiasakan mengerjakan keburukan dan dibiarkan begitu saja tanpa dihiraukan pendidikan dan pengajarannya, yakni sebagaimana halnya seorang yang memelihara binatang, maka akibatnya anak itupun akan celaka dan rusak binasa akhlaknya, sedang dosanya yang utama tentulah dipikulkan kepada orang tuanya, atau pendidiknya yang bertanggung jawab untuk memelihara dan mengasuhnya.

Dari pendapat tersebut diatas, maka terhadap pembiasaan tersebut dimaksudkan agar dimensi-dimensi jasmaniah dari kepribadian individu anak dapat terbentuk dengan memberikan kecakapan berbuat dan berbicara. Tahap pembinaan ini menjadi dasar dan sebagai persiapan untuk kehidupan dan perkembangan kepribadian anak di masa yang akan datang.
Menurut Zakiah Darajat:
Perkembangan agama pada masa anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, dalam keluarga, sekolah dan dalam masyarakat lingkungan. Semakin banyak pengalaman yng bersifat agama, (sesuai dengan ajaran agama), akan semakin banyak unsur agama dalam pribadi anak. Apabila pribadinya banyak unsur agama, maka sikap, tindakan kelakuan, kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.

Penulis dapat menyimpulkan bahwa pengalaman-pengalaman yang dilalui sejak kecil tersebut, bahkan sejak dalam kandungan, merupakan unsur-unsur yang akan menjadi bagian dari kepribadiannya di kemudian hari. Oleh karena itu pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan yang merupakan pengalaman bagi anak sejak kecilnya, akan menjadi unsur yang penting dalam pribadinya dan mempunyai pengaruh yang mendalam terhadap kehidupan kelak, karena kepribadiannya itu terbentuk sejak kecil.
Sebagaimana di sebutkan Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin Juz III, sebagai berikut:
وجمع بعضهم علمات حسن الخلق فقال : هو أن يكون كثيرا الحباء قليل الأذي كثيرا العمل الزلل قليل الفضول برواصولا وقورا صبورا شكورا رضيا حليما رفيقا عفيفا شفيقا لا لعنا ولا سباب ولا غماولا مغتابا ولا عجولا ولا حقودا ولا حسودا بشاشايحب في الله ويرضي في الله ويغضب في الله فهذا هو حسن الخلق

Artinya:…”Sebahagian dari mereka ada yang mengumpulkan tanda-tanda kebaikan akhlak, lalu ia mengatakan: “Orang baik itu adalah yang banyak malu, sedikit menyakiti orang, banyak berbuat baik, benar lidahnya, sedikit berbicara dan banyak bekerja, sedikit tergelincirnya, sedikit hal-hal yang tidak perlunya, berbuat kebaikan, banyak silaturrahminya, lemah lembut, banyak sabarnya, banyak terimaksahnya, rela kepada barang yang telah ada, dapat mengendalikan diri ketika marah, banyak kasih sayangnya, dapat menjaga diri dan murah hati kepada fakir dan miskin, tidak mengutuk orang lain, tidak suka memaki-maki, tidaksuka mengadu domba, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, tidak tergesa-gesa dalam pekerjaan, tidak pendengki, tidak kikir, tidak ahli hasud, manis muka, bagus lidah, cinta karena Allah, benci karena Allah, rela karena Allah, dan marah krena Allah maka mereka itulah yang baik akhlaknya.”

Dari gagasan akhlak Imam al-Ghazali diatas dapat penulis simpulkan bahwa banyak hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan akhlak yang perlu diajarkan kepada anak-anak selain yang telah disebutkan pada pembahasan tersebut diatas. Seperti dianjurkannya menjaga kebersihan lingkungan sekitarnya dalam rangka meningkatkan kesehatan. Kemudian mendidik agar anak-anak jangan terlampau banyak bicara yang tidak perlu, anak-anak dilarang berkata kotor, terlebih lagi menyakiti orang lain. Imam al-Ghazali menasihatkan agar anak-anak berlatih berbicara seperlunya, cukup untuk mengutarakan isi hati dan untuk berkomunikasi dengan orang sekitarnya, bukan untuk menghambur-hamburkan waktu yang tidak ada manfaatnya.
Berdasarkan gagasan diatas, jelaslah bahwa gagasan Imam al-Ghazali tentang akhlak anak tersebut merupakan pembinaan pribadi dengan menanamkan dan membina nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan yang terpadu, sehingga terwujud pula sikap, mental, akhlak yang terpuji.

B. Metode Pendidikan Akhlak Anak dilingkungan Keluarga Menurut Imam al-Ghazali
Akhlak adalah termasuk permasalahan terpenting dalam kehidupan ini. Tingkatannya berada setelah iman. Kita beriman dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah antara hamba dan Tuhannya, atau hubungan antara makhluk dengan khaliknya. Sedangkan akhlak selain hubungan antara hamba dengan Tuhannya, adalah hubungan dalam bermu’amalah dan bermusyarokah antara sesama manusia, juga mengatur hubungan manusia dengan segala yang terdapat dalam wujud dan kehidupan.
Akhlak menurut pengertian Islam adalah merupakan salah satu hasil dari implementasi iman dan ibadah, bahwa iman dan ibadah manusia tidak sempurna kecuali pada akhirnya ia akan menghasilkan akhlak yang mulia dan mu’amalah yang baik terhadap Allah sebagai khaliknya dan juga terhadap sesama makhluk. Seseorang tidaklah sempurna imannya terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala melainkan ia harus benar-benar beriman, menyempurnakan apa yang dijanjikan Allah dengannya dalam taat dan ibadah. Di antara tanda-tanda sifat munafik yang paling menonjol adalah akhlak yang buruk, sebaliknya di antara perhiasan-perhiasan yang paling mulia bagi manusia sesudah iman, taat, dan bertaqwa kepada Allah, adalah akhlak yang mulia.
Terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an sebanyak 1504 ayat yang berhubungan dengan akhlak, baik dari segi teori maupun daris segi praktisnya. Jadi kadar ini mencapai hampir seperempat dari ayat-ayat Al-Qur’an membicarakan akhlak. Di antara ayat-ayat itu adalah sebagai berikut:
وإنك لعلى خلق عظيم

Artinya:…”Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada dalam akhlak yang mulia.” (QS: Al-Qalam: 4)
Ayat ini menjelaskan akhlak adalah sebagai sifat Nabi Muhammad SAW.yang paling mulia, adan ujian yang paling tinggi yang diberikan kepadanya, dan akhlak Nabi ini merupakan pelaksanaan praktis sebagai makna kesempurnaan, kesopanan, dan akhlak yan baik yang terdapat dalam al-Qur’an al-Karim.
Akhlak manusia yang ideal dan mungkin dapat dicapai dengan usaha pendidikan dan pembinaan yang sungguh-sungguh ialah terwujudnya keseimbangan. Akan tetapi ada manusia yang dapat mencapai keseimbangan empat unsur akhlak tersebut, kecuali Rasulullah SAW, karena beliau sendiri ditugaskan oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak manusia karenanya beliau sendirilah yang sempurna akhlaknya. Pendidikan akhlak yang ditekankan pada pembiasaan, keteladanan, dan latihan yang dilakukan sejak kecil akan menghasilkan perilaku yang akhlaqi. Karena perbuatan yang baik dan dibiasakan itu akan mendarah daging, mempribadi, dan dengan mudah dapat dilakukan.
Sebelum anak-anak berpikir logis dan memahami hal-hal yang abstrak, serta belum sanggup menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, maka contoh-contoh, latihan-latihan dan pembiasaan-pembiasaan mempunyai peranan penting, dalam membina pribadi anak, karena masa kanak-kanak adalah masa paling baik untuk menanamkan dasar-dasar pendidikan akhlak.
Oleh karena itu Imam al-Ghazali berpendapat bahwa cara yang terbaik untuk memiliki budi pekerti yang utama adalah dengan melalui asuhan dan latihan-latihan melaksanakan sifat-sifat yang baik. Anak-anak dilatih dan dibisakan membantu orang tua dilingkungan keluarga, membantu orang lemah dan menolong masyarakat Imam al-Ghazali menganjurkan supaya sifat angkuh dan sifat buruk dilenyapkan dari seseorang dengan latihan-latihan dan praktek yang bertentangan.
Sungguh sangat berarti yang disarankan Imam al-Ghazali dalam upaya menyuburkan akhlak yang mulia, terutama anak-anak, di mana harus melalui ajaran dan pekerjaan atau lewat teori dan praktek, disamping memberikan contoh yang baik dalam pergaulan. Karenanya tingkah laku yang buruk dan sifat-sifat jahat bila menjadi adat kebiasaan bagi anak-anak, akan sukar merubahnya sekaligus kepada tingkah laku yang terpuji. Adat dan kebiasaan itu sendiri telah membuat sifat jahat menyusup ke dalam hati anak-anak. Imam al-Ghazali menyarankan agar tabi’at-tabi’at yang jahat dialihkan lebih dahulu kepada sifat-sifat yang kurang jahat, kemudian secara bertahap dan bertingkat dipindahkan kepada sifat-sifat yang baik.
Imam al-Ghazali menetapkan bahwa budi pekerti dapat diubah melalui asuhan dan latihan-latihan. Kalau tidak demikian apalah artinya ajaran-ajaran Qur’an dan Hadits-hadits Rasul beserta tabligh-tabligh dan khutbah-khutbah. Binatang-binatang seperti anjing dan kuda dapat dijinakan dan diajar, terlebih lagi anak cucu Adam, demikian kata Imam al-Ghazali.
Imam al-Ghazali mengemukakan metode mendidik anak dengan mencontoh, latihan, dan pembiasaan kemudian nasihat dan anjuran sebagai alat pendidikan dalam rangka membina kepribadian anak sesuai dengan ajaran qur’ani. Pembentukan kepribadian tersebut berlangsung secara bertahap dan berkembang, sehingga merupakan proses menuju kesempurnaan.
Demikian Imam al-Ghazali sangat menganjurkan agar mendidik anak dan membina akhlaknya dengan latihan-latihan dan pembiasaan-pembiasaan yang sesuai dengan perkembangan jiwanya walaupun seakan-akan dipaksakan, agar anak dapat terhindar dari keterlanjuran dan menyesatkan. Oleh karena pembiasaan dan latihan akan membentuk sikap tertentu terhadap anak, yang lambat laun sikap tersebut akan bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi karena telah mendarah daging dan menjadi bagian dari kepribadiaannya.
Imam al-Ghazali mengatakan:
“Apabila anak itu dibiasakan untuk mengamalkan amal yang baik, diberi pendidikan kearah itu, pastilah ia akan tumbuh di atas kebaikan tadi akibat positifnya ia akan selamat sentosa di dunia dan akhirat. Kedua orang tuanya dan semua pendidik, pengajar serta pengasuhnya ikut serta memperoleh pahalanya. Sebaliknya jika anak itu sejak kecil sudah dibiasakan mengerjakan keburukan dan dibiarkan begitu saja tanpa dihiraukan pendidikan dan pengajarannya, yakni sebagaimana halnya seorang yang memelihara binatang, maka akibatnya anak itupun akan celaka dan rusak binasa akhlaknya, atau pendidiknya yang bertanggung jawab untuk memelihara dan mengasuhnya.”

Dari pendapat tersebut diatas, maka terhadap pembiasaan tersebut dimaksudkan agar dimensi-dimensi jasmaniah dan kepribadian individu anak dapat terbentuk dengan memberikan kecakapan berbuat dan berbicara. Tahap pembinaan ini menjadi dasar dan sebagai persiapan untuk kehidupan dan perkembangan kepribadian anak dimasa yang akan datang.
Oleh karena itu pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan yang merupakan pengalaman bagi anak sejak kecilnya, akan menjadi unsur yang penting dalam pribadinya dan mempunyai pengaruh yang mendalam terhadap kehidupannya kelak, karena kepribadiaannya itu terbentuk dari pengalamannya sejak kecil.
Imam al-Ghazali menjelaskan tentang pendidikan akhlak bagi anak dilingkungan keluarga secara terperinci dan mendalam pada sub bab Kitab Riyadhatun Nafs, Ihya Ulumuddin Juz III; adalah sebagai berikut:
Tentang kesopanan dan kesederhanaan, antara lain kesopanan dan kesederhanaan makan, kesopanan dan kesedrhanaan berpakaian, kesederhanaan tidur, kesopanan dan kedisiplinan. Kesopanan dan kesejahteraan makan.
Imam al-Ghazali mengatakan:
“Yaitu ia memulai dengan membaca basmalah pada awal makan itu, dan di akhirnya membaca hamdalah. Seandainya pada setiap suap itu ia membaca basmalah maka itu baik sehingga kerakusan tidak menyibukkannya dari mengingat Allah Ta’ala.
Ia makan dengan tangan kanan.
Ia mengecilkan suapan dan baik-baik dalam mengunyahnya.
Jangan mencela sesuatu yang dimakan. Dan agar makan apa yang ada di dekatnya dan sebagainya.”

Dari keterangan tersebut diatas Imam al-Ghazali menjelaskan secara rinci, bahwa salah satu hal yang biasa terjadi pada anak-anak adalah mempunyai sifat rakus makan, maka inilah yang perlu diluruskan. Seperti, pada waktu makan senantiasa menggunakan tangan kanannya dan mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim” dan diakhiri dengan membaca “Alhamdulillahirabbil ‘Alamin”, artinya dilepas dari memanjatkan do’a kepada Allah SWT. Anak-anak dianjurkan agar makan yang ada didekatnya saja. Tidak boleh anak itu bersegera makan sebelum orang lain yang lebih tua memulainya, anak-anak tidak boleh memandangi makanan yang dihadapi orang yang disampingnya. Pada waktu makan anak-anak tidak boleh tergesa-gesa, akan tetapi anak-anak diperintahkan makan dengan sebaik-baiknya, antara suapan yang satu dengan suapan yang lainnya jangan terlampau cepat. Dan agar dibiasakan makan tanpa lauk pauk, sehingga tidak selalu suka makan jika tidak ada lauk pauk.
Nilai-nilai pendidikan akhlak pada waktu makan, disamping mendidik akhlak anak dari rakus makan, juga mengandung nilai-nilai pendidikan lainnya, misalnya:
1. Dalam keadaan anak makan bersama keluarga akan tertanam rasa bersatu antara keluarga dan rasa hormat kepada orang yang lebih dewasa.
2. Anak dibiasakan menghargai milik orang lain sebagaimana orang lain menghargai miliknya serta sebagai latihan bekerjasama dengan orang lain.
3. Anak dapat makan sendiri, anak memberikan rasa percaya diri.
4. Orang tua dapat menghormati bagaimana sikap anak pada waktu makan.
Kemudian Imam al-Ghazali mengajarkan kesopanan dan kesederhanaan pakaian, dengan perkataannya sebagai berikut:
وان راي الغالب عليه النظافة فى البدن والتياب ورأي قلبه مائلا إلى ذلك
Artinya:“Dan jika kelihatan yang menonjol pada murid itu, kebersihan pada badan dan pakaian dan kelihatan hatinya condong pada yang demikian.”

Dari keterangan tersebut diatas, Imam al-Ghazali menjelaskan kepada orang tua, agar anak-anak suka berpakaian yang putih dan bersih, dan menjelaskan kepada anak-anak agar jangan berhias yang tidak sepatutnya, atau apasaja yang menimbulkan pemborosan. Apabila hal ini dilakukan oleh anak, nantinya ia hanya mencari kesenangan semata dan berbuat keborosan pada wakti ia dewasa, akhirnya anak menjadi rusak jiwanya, ia menjadi orang yang tidak sabar dan tidak tahan menderita, ia selalu ingin dalam kesenangan, dan membuka pintu untuk menghalalkan segala cara.
Islam bukanlah sekedar suatu formula ritual; Islam adalah proses ketaatan terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh Allah berkenaan dengan hubungan antar manusia dengan Dia, dan hubungan antar sesama manusia, baik dalam urusan keluarga, politik, ekonomi, pendidikan.
Karenanya sifat bersenang-senang, kemewahan dan pemborosan pada anak yang mempunyai pengaruh negatif terhadap perkembangan jiwanya harus segera ditangani secara serius, anak segera diluruskan dan dikenalkan secara dini dengan aturan-aturan yang sangat bijaksana sesuai yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian anak-anak terhindar dari jiwa yang tidak sabar, dari jiwa yang kurang tabah dan kurang tahan menderita dan dijauhkan dari sikap mental rendah.
Lebih lanjut Imam al-Ghazali mengajarkan kesederhanaan tidur, seperti disebutkan dalam penjelasan jalan menunjukan manusia pada cela-cela dirinya sebagai berikut:
والرباضة على أربعة أوجه القوة من الطعام والغمض من المنام والحاجة من الكلام وحمل الأذى من جميع الأنام فيتولد من قلة الطعام موت الشهوات ومن قلة المنام صفو الإرادت

Artinya:”Dan latihan itu pada empat cara. Yaitu kekuatan yang berada dari makanan. Memejamkan mata dari tidur. Perkataan yang seperlunya dan menahan rasa sakit dari semua manusia. Dari sedikit makan, terjadilah mati nafsu syahwat. Dari sedikit tidur. Bersihkanlah semua kehendak.”

Dari penjelasan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa kedua orang tua agar melarang anak-anak tidur pada waktu siang, sebab hal tersebut banyak menimbulkan kemalasan bekerja dan lain-lain, tetapi pada malam hari anak-anak diperintahkan untuk tidur, namun Imam al-Ghazali menganjurkan sebaiknya anak tidak dibiasakan tidur diatas kasur yang empuk-empuk atau alat-alat tidur serba mewah. Hal semacam itu dipandang kurang baik, karena anggota badan anak-anak akan kaku dan menjadikan mereka malas.
Imam al-Ghazali sangat mengutamakan kedisiplinan bagi anak-anak untuk menghindarkan perbuatan yang tidak pantas dipandang umum dan membiasakan anak-anak untuk berbuat hal yang patut sesuai dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.
Imam al-Ghazali meyarankan agar kedua orang tua mengajarkan anak-anaknya, bagaimana duduk yang baik, hendaklah dilarang meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lainnya, demikian pula meletakkan tangan dibawah dagu atau menyandarkan kepala di atas tangan kanan, sebab semua itu dianggapnya tanda-tanda kemalasan.
Imam al-Ghazali juga mengajarkan sopan santun dan disiplin waktu duduk, sekaligus untuk menghindarkan sikap malas bagi anak-anak, agar mereka rajin belajar dan giat bekerja.
Sebagaiman disebutkan Imam al-Ghazali di dalam Kitab Ihya Ulumuddin Juz III sebagai berikut:
وجمع بعضهم علمات حسن الخلق فقال : هو أن يكون كثيرا الحباء قليل الأذي كثيرا العمل الزلل قليل الفضول برواصولا وقورا صبورا شكورا رضيا حليما رفيقا عفيفا شفيقا لا لعنا ولا سباب ولا غماولا مغتابا ولا عجولا ولا حقودا ولا حسودا بشاشايحب في الله ويرضي في الله ويغضب في الله فهذا هو حسن الخلق

Artinya:”Sebahagian dari mereka ada yang mengumpulkan tanda-tanda kebaikan akhlak, lalu ia mengatakan:”Orang baik itu adalah yang banyak malu, sedikit menyakiti orang, banyak berbuat baik, benar lidahnya, sedikit berbicara dan banyak bekerja, sedikit tergelincirnya, sedikit hal-hal yang tidak perlunya, berbuat kebaikan, banyak silaturahimnya, lemah lembut, banyak sabarnya, banyak terimakasihnya, rela kepada barang yang telah ada, dapat mengendalikan diri ketika marah, banyak kasih sayangnya, dapat menjaga diri dan murah hati kepada fakir dan miskin, tidak mengutuk orang lain, tidak suka memaki-maki, tidak suka mengadu domba, tidak mencari cari kesalahan orang lain, tidak tergesa-gesa dalam pekerjaan, tidak pendengki, tidak kikir, tidak ahli hasud, manis muka, bagus lidah, cinta karena Allah, benci karena Allah, rela karena Allah, dan marah karena Allah. Maka mereka itulah yang baik akhlaknya.”

Dari perkataan tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwa banyak hal-hal yang berkaitan dengan akhlak yang perlu diajrkan kepada anak-anak selain yang telah disebutkan pada pembahasan tersebut di atas. Seperti dianjurkannya menjaga kebersihan lingkungan sekitarnya dalam rangka meningkatkan kesehatan. Kemudian mendidik agar anak-anak jangan terlampau banyak bicara yang tidak perlu, anak-anak dilarang berkata kotor, terlebih lagi meyakiti orang lain. Imam al-Ghazali menasihatkan agar anak-anak berlatih berbicara seperlunya, cukup untuk mengutarakan isi hati dan untuk berkomunikasi dengan orang sekitarnya, bukan menghambur-hamburkan waktu untuk mengobrol yang tidak ada manfaatnya.
Imam al-Ghazali menganjurkan agar mendidik anak-anak dilingkungan keluarga dilakukan dengan pembiasaan dan latihan untuk menghindarkan diri dari perbuatan tercela serta tidak sesuai dengan norma masyarakat dan ajaran qur’ani, misalnya:
1. Bersumpah jangan dibolehkan sama sekali, baik pada waktu ia dalam keadaan benar, terlebih lagi jika bersalah. Kepentingannya agar anak-anak tidak membiasakannya sejak kecil, sehingga setelah dewasa ia akan seenaknya dan dengan mudah melanggar sumpah.
2. Bagi anak-anak diberi nasihat agar jangan suka menerima sesuatu pemberian dari kawannya, terlebih lagi jika ia memintanya, hendaklah anak-anak diberi penjelasan bahwa keluhuran budi itu ialah apabila ia memberi dan bukan menerima. Anak-anak dibiasakan untuk suka memberi, hal ini apabila dilatih terus menerus sehingga ia dewasa akan menjadi orang yang dermawan yang suka membantu dan menolong sesama.
3. Bagi anak-anak agar diawasi jangan sampai membangga-banggakan dirinya baik yang berhubungan dengan makan atau pakaian yang diperoleh dari orang tuanya, atau juga menentang keluarganya. Karena yang demikian lambat laun akan merusak jiwanya. Lebih dari itu dikhawatirkan bagi anak-anak tumbuh sifat iri hati karena telah terbiasa hidup mewah.
4. Bagi anak-anak harus dilarang dari segala sesuatu yang ia lakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena perbuatan tersebut akan membiasakan anak-anak untuk berbuat jahat. Artinya anak telah mengetahui bahwa perbuatan itu buruk, tetapi ia melakukannya sembunyi-sembunyi karena takut ditegur, takut dimarahi, bahkan mungkin takut dihukum oleh kedua orang tuanya atau gurunya.
5. Agar anak-anak menjauhi segala sesuatu perbuatan yang tercela, seperti mencuri dan makan sesuatu yang diharamkan. Perbuatan baik dan buruk, terpuji atau tercela, bena pribadi benar atau salah, diperintahkan atau dilarang, menurut Imam al-Ghazali dipertimbangkan dan ditetapkan melalui pandangan masyarakat dan syariat Islam.
Kemudian Imam al-Ghazali sangat menganjurkan agar orang tua memberikan pembiasaan dan latihan beribadah kepada anak-anaknya, seperti bersuci, shalat berdo’a, berpuasa bulan Ramadhan dan lain sebagainya, sehingga secara bertahap akan tumbuh rasa senang melakukan ibadah tersebut, dengan sendirinya anak terdorong untuk melakukannya tanpa perintah dari siapa-siapa, tetapi terdorong dari dirinya pribadi dengan penuh kesadaran. Hal ini merupakan suatu kewajiban bagi kedua orang tua untuk melakukannya, sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW.
Bersabda Nabi SAW:
يا أبا هريرة مرأهلك بالصلاة فإن الله يأتيك بالرزق من حيث لا تحتسب

Artinya:” Hai Abu Hurairah! Suruhlah keluargamu untuk shalat! Sesungguhnya Allah akan mendatangkan rizki bagimu dari arah yang tidak kamu sangka.”
Dari perintah tersebut diatas jadi jelaslah bahwa satu keluarga yang banyak mendapat pembiasaan da latihan keagamaan semakin merasakan kebutuhan terhadap pentingnya agama dalam hidup dan kehidupan, baik secara individu maupun kelompok.
Imam al-Ghazali menyarankan agar anak-anak mempelajari berbagai macam ilmu, sebagaimana yang diceritakan dalam nasehat Lukman kepada anaknya, sebagai berikut:
قال يا بني جالس العلماء وزاحمهم بركبتيك فإن الله سبحانه يحي القلوب بنور الحكمة كما يحي الأرض بوابل السماء وقال بعض الحكماء إذا مات العالم بكاه الحوت في الماء والطير في الهواء ويفقد وجهه ولا ينسى ذكره

Artinya:”Lukman berkata: “Hai anakku! Duduklah bersama ulama. Rapatlah mereka dengan kedua lututmu. Sesungguhnya Allah SWT mrnghidupkan hati dengan nur-hikmat (sinar ilmu) seperti menghidupkan bumi dengan hujan dan langit. Sebagian ahli hikmah berkata: “Apabila seorang ahli ilmu meninggal, maka ikan di air dan burung di udara menangisinya. Wajahnya hilang tetapi sebutan namanya tidak dilkupakan.”

Imam al-Ghazali menganjurkan agar anak-anak disibukkan dengan apa-apa yang diterima gurunya dari mempelajari kitab suci Al-Qur’an, Hadits-hadits, sejarah, cerita-cerita orang-orang yang shaleh dan berbakti serta hal ihwal kehidupan mereka. Dengan demikian, maka dalam jiwa anak akan tumbuh benih cinta pada orang-orang yang shaleh.
Imam al-Ghazali selalu menggunakan prinsip-prinsip cerita (hikayat) sebagai metode pencapaian tujuan pendidikan akhlak anak, dalam upaya membentuk tingkah laku tertentu pada anak-anak. Dari metode cerita (hikayat) tersebut kelebihan-kelebihan dibanding metode yang lainnya, antara lain:
1. Metode cerita mengandung unsur hiburan yang sesuai dengan tabi’at manusia senang dengan hiburan dalam upaya meringankan beban hidup sehari-hari.
2. Metode cerita ada watak tertentu yang menjadi teladan bagi pembentukan tingkah laku anak-anak. Dalam kata lain dalam metode cerita terdapat dua tujuan yakni hiburan dan pendidikan.
3. Metode keteladanan adalah cara penyampaian pendidikan akhlak pada anak, dimana orang tua sebagai pendidik memberi contoh teladan dengan melaksanakan nilai-nilai akhlak dalam segala tindakan dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga anak dapat mengikuti dan menirunya.
4. Metode pembiasaan merupakan cara menyampaikan pendidikan akhlak pada anak dengan membiasakan perbuatan-perbuatan yang baik yang sesuai dengan tingkat kemampuannya. Tujuannya adalah untuk membentuk tingkah laku atau akhlak pada anak melalui kebiasaan-kebiasaan yang baik.
5. Metode nasihat adalah cara menyampaikan pendidikan akhlak kepada anak melalui nasihat-nasihat atau petunjuk-petunjuk tentang hal-hal yang baik dan terpuji, dan hal-hal yang buruk dan tercela.
6. Metode ganjaran dan hukuman merupakan metode yang paling akhir dipergunakan dalam menyampaikan pendidikan akhlak, karena adanya ganjaran dan hukuman merupakan akibat dari adanya sebab baik, sedang hukuman adalah akibat dari adanya sebab buruk. Imam al-Ghazali mengatakan:
“tidak setuju dengan cepat-cepat menghukum seorang anak yang salah, melainkan berilah kesempatan untuk memperbaiki sendiri kesalahannya, sehingga ia menghormati dirinya dan merasakan akibat perbuatannya. Sanjung dan pujilah pula bila ia melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji yang harus mendapat ganjaran pujian dan dorongan”

Anak-anak perlu mendapatkan bermacam ilmu pengetahuan dasar untuk mengembangkn minat, agar mereka menguasai akal pikiran, bakat dan minat, agar mereka menguasai ilmu pengetahuan. Demikian ilmu tersebut untuk segera diamalkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk untuk memperdalam ilmu pengetahuan berikutnya.
Pemikiran Imam al-Ghazali tentang berbagai macam ilmu diberikan di lembaga pendidikan merupakan dasar pengajaran klasikal dan merupakan dasar-dasar pengembangan kurukulum pendidikan. Karena itu pengalaman-pengalaman dilalui anak dengan berbagai contoh pembiasaan, latihan, anjuran dan larangan, kemudian diberikan penjelasan dan pengertian sesuai dengan taraf pemikirannya tentang norma dan nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan. Lalu kemudian tumbuhlah tindakan, sikap, pandangan, pendirian, keyakinan, dan kesadaran kepercayaan untuk berbuat sesuatu yang bertanggung jawab akhirnya terbentuklah budi pekerti yang luhur pada anak menuju dewasanya, yang memberi pengaruh yang bermanfaat kepada akal secara langsung dan dapat pula mempengaruhi jiwa secara baik.
Sesungguhnya pendidikan akhlak sangat dibutuhkan oleh setiap individu maupun masyarakat, karena pengaruh positifnya yang sangat indah akan dirasakan oleh individu dan masyrakat itu sendiri dalam porsiyang sama. Demikin juga dengan dampak negtifnya, ia akan menyebar kepada seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itulah pendidikan akhlak ini wajib dipertahankan dan diperhatikan sejak awal fase umur manusia itu, yaitu dari masa kanak-kanak. Imam al-Ghazali mengatakan hal ini, “Yang dibutuhkan oleh seorang anak adalah perhatian terhadap akhlaknya.”
Penyimpangan dan dekadensi akhlak (moral) yang terjadi di kalangan masyarakat disebabkan karena mereka tumbuh dan berkembang dalam wilayah tarbiyah yang buruk. Maka dari itulah perlunya umat manusia khususnya masyarakat muslim kepada sebuah pendidikan yang mampu membawa umat manusia ini ke puncak ketinggian akhlak, yang menebarkan kebahagiaan dan ketentraman.
Kebutuhan kepada pendidikan akhlak ini mengharuskan orang tua yang berperan penting dalam keluarga untuk menjauhkan anaknya dari majlis lagwu dan kebatilan, seperti tempat hiburan, nyanyian, forum yang dipenuhi oleh perkataan keji dan bid’ah. Karena sesungguhnya hal-hal yang buruk itu apabila telah tersentuh atau melekat pada seorang anak di masa kecilnya, maka akan sulit lepas dimasa besarnya, dan pada orang tua akan merasa kesulitan untuk melepaskannya dari hal-hal yang buruk tersebut. Perlu diperhatikan, bahwa merubah adat kebiasaan adalah perkara yang sangat sulit, karena ia merupakan upaya perubahan dan pembaharuan karakter dan watak yang telah melekat pada individu anak.
Oleh karena itu pembinaan pribadi anak dalam keluarga adalah dengan menanamkan dan membina nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan, dan keagamaan yang terpadu, sehingga terwujud pula sikap, mental, akhlak yang terpuji.
Tidak ada kebahagiaan dan keberutungan bagi keluarga kecuali dengan menjauhkan anak-anak dari akhlak yang tercela dan menghiasi diri anak-anak dengan akhlak yang utama, dan orang tua yang mengotori diri anaknya dengan akhlak tercela yang merusak, sungguh ia telah membuang kebahagiaan dunia dan akhiratnya.
Imam al-Ghazali mengatakan:
”anak-anak adalah amanah di tangan ibu bapaknya, hatinya masih suci ibarat permata yang mahal harganya, maka apabila ia dibiasakan pada sesuatu yang baik dan dididik, maka ia akan besar dengan sifat-sifat baik serta akan berbahagia dunia akhirat. Sebaliknya jika terbiasa dengan adat-adat buruk, tidak dipedulikan seperti halnya hewan ia akan hancur dan binasa.”

Dari hal tersebut diatas dapat penulis simpulkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang baik pada masa kecil merupakan suatu hal yang sangat penting dalam rangka menanamkan nilai-nilai akhlak pada anak. Sehingga kebiasaan-kebiasaan itu menjadi akhlak pada pribadinya sampai ia dewasa. Kebiasaan yang telah tertanam di waktu kecil akan melekat erat dan sukar dirubah. Ada suatu pepatah yang mengatakan:
التَّعَلَّمُ فِيْ الصِّغَرِ كَالنَّفْسِ عَلَى الْحَجَرِ

Artinya:”Belajar diwaktu kecil laksana mengukir diatas batu.”
















BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu tentang pendidikan akhlak menurut pandangan Imam al-Ghazali, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sesuai dengan pembatasan masalah pada skripsi ini:
1. Gagasan Imam al-Ghazali tentang pendidikan akhlak anak adalah merupakan sikap yang tertanam dalam jiwa yang melahirkan perbuatan-perbuatan tertentu secara spontan dan konstan. Perbuatan seseorang dapat dikatakan sebagai akhlaknya jika melakukan perbuatan-perbuatan berdasarkan kepada:
a. Perbuatan itu harus spontan dan konstan, yaitu dilakukan berulang kali, dalam bentuk yang sama sehingga dapat menjadi adat kebiasaan.
b. Perbuatan yang spontan dan konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksif dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan adanya tekanan dari orang lain.
c. Antara dorongan jiwa dengan saat melakukannya bersifat spontanitas, karena telah terbiasa, bukan karena pertimbangan untung dan rugi.
2. Metode Pendidikan akhlak anak dilingkungan keluarga menurut Imam al-Ghazali adalah Imam al-Ghazali selalu menggunakan prinsip-prinsip cerita (hikayat) sebagai metode pencapaian tujuan pendidikan akhlak anak, dalam upaya membentuk tingkah laku tertentu pada anak-anak. Dari metode cerita (hikayat) tersebut kelebihan-kelebihan dibanding metode yang lainnya, antara lain:
a. Metode cerita mengandung unsur hiburan yang sesuai dengan tabi’at manusia senang dengan hiburan dalam upaya meringankan beban hidup sehari-hari.
b. Metode cerita ada watak tertentu yang menjadi teladan bagi pembentukan tingkah laku anak-anak. Dalam kata lain dalam metode cerita terdapat dua tujuan yakni hiburan dan pendidikan.
c. Metode keteladanan adalah cara penyampaian pendidikan akhlak pada anak, dimana orang tua sebagai pendidik memberi contoh teladan dengan melaksanakan nilai-nilai akhlak dalam segala tindakan dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga anak dapat mengikuti dan menirunya.
d. Metode pembiasaan merupakan cara menyampaikan pendidikan akhlak pada anak dengan membiasakan perbuatan-perbuatan yang baik yang sesuai dengan tingkat kemampuannya. Tujuannya adalah untuk membentuk tingkah laku atau akhlak pada anak melalui kebiasaan-kebiasaan yang baik.
e. Metode nasihat adalah cara menyampaikan pendidikan akhlak kepada anak melalui nasihat-nasihat atau petunjuk-petunjuk tentang hal-hal yang baik dan terpuji, dan hal-hal yang buruk dan tercela.
f. Metode ganjaran dan hukuman merupakan metode yang paling akhir dipergunakan dalam menyampaikan pendidikan akhlak, karena adanya ganjaran dan hukuman merupakan akibat dari adanya sebab baik, sedang hukuman adalah akibat dari adanya sebab buruk
B. Saran-saran
Dari beberapa kesimpulan tersebut di atas, mka penulis mengemukakan beberapa saran berikut:
1. Untuk merealisasikan gagasan tersebut, diperlukan orang tua yang professional yang pandai memilih metode yang tepat dan efektif, yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Memberi keteladanan, membiasakan anak melakukan hal-hal yang baik, menceritakan sesuatu yang mengandung nilai pendidikan, memberi nasihat, memberi ganjaran dan hukuman yang bijaksana serta, peka terhadap persoalan yang sedang dihadapi anak, dan mampu membimbing anak membentuk pribadi yang berkepribadian dan berakhlak mulia.
2. Metode pendidikan akhlak dilingkungan keluarga menurut Imam al-Gazali yang telah dipaparkan diatas sesuai dengan yang ada pada masa saat ini hendaklah lebih dikembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern saat ini dan mendatang, hal tersebut untuk kemaslahatan hidup manusia menuju Rahmatan Lil’alamin.
3. Orang tua harus membina suasana keluarga seharmonis mungkin, serta dapat menciptakan suasana edukatif, karena lingkungan keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama bagi anak.
4. Anak-anak seharusnya semenjak kecil sudah dibiasakan dengan pendidikan yang baik, khususnya pendidikan akhlak, karena nilai-nilai kependidikan akhlak yang diterima anak sejak kecilnya akan sangat menentukan terhadap pembentukan kepribadiannya.
5. Jurusan Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu lembaga pendidikan yang harus selalu tampil dan eksis dalam memberikan penerangan kepada masyarakat melalui materi dan metode yang komprehensif (menyeluruh) agar masyarakat dapat memahami dan melaksanakan materi yang diterimanya dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA
Abudinata., Drs. H., Ma., Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996).
_________., Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2000)
Abud Abd al-Ghani , Alfikr al-Tarbawiy Inda al-Ghazaliy, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1982).
Alamah M.H. Thabathaba’I, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, Terj. A. Malik Madani dan Hamim Ilyas dari judul asli al-Qur’an fi al-Islam, (Bandung: Mizan, 1990), Cet. III,
Amin Ahmad , Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1993).
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikn Islam,(Bandung: PT. Ma’arif, 1987), Cet. ke-7
Arifin, M. M. Ed., Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama Islam Di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. ke-4
_________., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1989), Cet. ke-1,
Arthur Hyman, Walls, James J., (eds.), Philosophy In The Middle Ages, (Indianapolis: Macket Publishing Company)
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992).
al-Abrasyi Athiyah Muhammad , Al-Tarbiyat al-Islamiyat, (Mesir: dar al-Fikr, tt).
Al-Ghazali Imam, Ihya Ulumuddin, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Jilid I
________, Ihya Ulumuddin, (Syirkah Noor ‘Asia, t.t)., Jilid, II
________, Ihya Ulumuddin, (Syirkah Noor ‘Asia, t.t)., Jilid, III,
________, Ihya Ulumuddin, Syirkah Noor ‘Asia, t.t., Jilid, IV
________, Al-Munqidz min al-Dhalal, (Beirut: al-Maktabah al-Sya’biyah, t.t.)
________, Al-Munqidz Min al-Dholal, (Istambul: Husain bin Hilmi Said Istambuli, 1983)
al-Syaibaniy al-Toumiy Omar Mohammad, Falsafah Pendidikan Islam, Terjemahan
al-Jumali Fadhil, Nahwa al-Tarbiyat al-Islamiyat al-Hurrat, (Kairo: Al-Mukhtar al-Islamiy, 197)
al-Qasimy Jamaluddin, Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mukmin
Bahtiar Wardi, Metodolologi Penelitian Ilmu Dakwah (Jakarta: Logos. 1997).
Bakri Oemar H, Akhlak Muslim, (Bandung: Aksara, 1986), Cet. Ke-1,
Bin al-Hajjaj Abul Husain Muslim, Shahih Muslim, (Bandung: Dahlan, Tt), Juz II,
Darajat Zakiah , Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet ke-7
__________, Ilmu Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1992), Cet. ke-2
Departemen Agama RI, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta:1986/1987)
Djatnika Rachmat, Problema Etika dalam Kehidupan Masyarakat, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 1971)
Dunia, Sulaiman, Al-Haqiqatu fi an-Nadzar al-Ghazali, (Dar al-Ma’arif,1971)
Fakhri Madjid, A History Of Islamic Pjilosophy, (New York: Columbia University Press, 1983), Cet. Ke-2
Ghalab Musthafa, Al-Ghazali, (Beirut: Darwa Maktabah al-Halalun, 1979)
Ghazali Bahri Dr. M., MA., Pengantar Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali, ( Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet. Ke-2
Gibb, H. A. R., Muhammadanism, (New York: Oxford University Press, 1962),
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Panjimas, 1984), .
Ismail Yakub, Terjemah Ihya ‘ Ulumuddin, Imam al-Ghazali (Jakarta: Faizan, 1989), cet. ke-6, Jilid 3
Kahar Mashur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), Cet. ke-1,
Langgulung Hasan, buku Falsafah al-Tarbiyat al-Islamiyat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
__________, Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, tt).
Luis ma’luf, Kamus Al-Munjid, (Beirut: Al-Maktabah al-Katulikiyah, tt).
Madjid Nurcholis Dr, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, 1984)
May Fathurrahman, Drs. Syamsuddin Asyrafi, (Bandung: PT. Alma’arif, 1982)
Mudlor Achmad, Etika Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1988), cet. ke-1,
Muhammad Abu Bakar, Membangun Manusia Seutuhnya Menurut Al-Qur’an, (Surabaya: Ikhlas, tt)
Nasution Harun, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet.Ke-1,.
___________, Teologi Islam (Aliran-aliran Sejarah, Analisa Perbandingan), (Jakarta: UI Pres, 1986)
Nicholas Drake an Elizabeth Davis, (eds.) The Concise Encyclopedia Of Islam, (San Francisco: Harper & row Publisher, 1989)
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, 1985).
Qardhawi Yusuf, Dr., Al-Ghazali antara Pro dan Kontra, (al-Ghazali Baina Maadihi wa naaqidihii, Penerj. Hasan Abrori),(Surabaya: Pustaka Progresif, 1996)
Rahman May, Drs. Syamsuddin Syraif, (Bandung: PT. Al Ma’arif, t.t).
Rathomy Abdai Moh. Mukhtasar Ihya Ulumuddin, (Bandung: CV. Diponogoro, 1983)
Ridha Juwaini Muhammad , Al-Fikru al-tarbawiyu al-Islam, (Kuwait: Dar al-Fikr al-Araby, 1980)
Rusydi, Prof. Dr. H, StudiIslam, Editor., (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, t.t)..
Sanusi Anwar,Pendidikan Akhlak, Bulettin Dakwah, Jum’at, No. 20. Th. ke-1, 1995.
Sulaiman Hasan Fathiyah, Madzahib al-Tarbiyah bahtsun fi al-Madzhab al-Tarbawy ‘Inda al-Ghazali, (Kairo: Nahdhah, Mesir,1974),
__________, Sistem Pendidikan Versi Imam AL-Ghazali, (alih bahasa: Ya’qub Isma’il, Ihya al-Ghazali, (Jakarta: C.V. Faizan, 1989), Cet. ke-11, Jilid I,
Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsep Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1986), Cet. 2
Zuhairini, dkk.,Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1978), Cet ke-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar